- TEORI BELAJAR BEHAVIORISME,
KOGNITIVISME DAN KONSTRUKTIVISME
- Teori Behaviorisme
Teori belajar behaviorisme merupakan
teori belajar yang telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Teori ini
dicetuskan oleh Gage dan Berliner yang berisi tentang perubahan tingkah laku
sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab
pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi tidaknya perubahan
tingkah laku. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya,
mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau
perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata.
Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan
menghilang bila dikenai hukuman.
Behaviorisme merupakan salah aliran
psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan
mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui
adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar.
Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga
menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. Dengan kata lain proses pembelajaran
menurut teori Behaviorisme adalah bahwa proses pembelajaran lebih menekankan
pada proses pemberian stimulus (rangsangan) dan rutinitas respon yang dilakukan
oleh siswa. Inti pembelajaran dalam pandangan behaviorisme terletak pada
stimulus respon (S-R).
Menurut teori behavioristik belajar
adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman (Gage, Berliner,
1984) Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon
(Slavin, 2000). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat
menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting
adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus
adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa, sedangkan respon berupa
reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru
tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk
diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat
diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh
guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh siswa (respon) harus dapat diamati
dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu
hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku
tersebut.
Tujuan pembelajaran menurut teori
behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi
aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali
pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes.
Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi
atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran
mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih
banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan
mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan
evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon
pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil
test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila siswa
menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa
siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi
bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah
selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan
siswa secara individual (Degeng, 2006).
Prinsip-Prinsip dalam Teori
Behavioristik
- a) Obyek psikologi adalah tingkah
laku.
- b) Semua bentuk tingkah laku di
kembalikan pada reflek.
- c) Mementingkan pembentukan
kebiasaan.
- d) Perilaku nyata dan terukur
memiliki makna tersendiri.
- e) Aspek mental dari kesadaran yang
tidak memiliki bentuk fisik harus dihindari.
Tokoh-Tokoh Aliran Behaviorisme
a) Edward LeeThorndike
Menurutnya belajar merupakan proses
interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang
terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan atau hal-hal lain yang
dapat ditangkap melalui alat indera. Respon adalah reaksi yang dimunculkan
peserta didik ketika belajar, juga dapat berupa pikiran, perasaan, gerakan atau
tindakan. teori ini sering disebut teori koneksionisme.
Connectionism ( S-R Bond) adalah hukum belajar yang dihasilkan oleh Thorndike yang
melakukan eksperimen yang terhadap kucing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya:
1) Law of Effect; artinya
bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, maka hubungan
Stimulus – Respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek
yang dicapai respons, maka semakin lemah pula hubungan yang terjadi antara
Stimulus- Respons.
2) Law of Readiness; artinya
bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari
pendayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana unit-unit ini
menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu.
3) Law of Exercise; artinya
bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respons akan semakin bertambah erat, jika
sering dilatih dan akan semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih.
b) John Watson
Kajian tentang belajar disejajarkan
dengan ilmu-ilmu lain seperti Fisika atau Biologi yang berorientasi pada
pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur. Belajar
merupakan proses interaksi antara stimulus dan respon, namun keduanya harus
dapat diamati dan diukur.
c) Clark L. Hull
Semua fungsi tingkah laku bermanfaat
terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Dorongan belajar
(stimulus) dianggap sebagai sebuah kebutuhan biologis agar organisme mampu
bertahan hidup.
d) Edwin Guthrie
Azas belajar Guthrie yang utama
adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu
gerakan. Hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar.
Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku
seseorang.
e) Burrhus Frederic Skinner
Konsep-konsep yang dikemukanan
tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Respon yang
diterima seseorang tidak sesederhana konsep yang dikemukakan tokoh sebelumnya,
karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi
antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang
diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah
yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku.
Operant Conditioningadalah hukum belajar yang dihasilkan oleh B.F. Skinner yang
melakukan eksperimen yang terhadap tikus menghasilkan hukum-hukum belajar,
diantaranya:
1) Law of operant conditining
yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan
perilaku tersebut akan meningkat.
2) Law of operant extinction
yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses
conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku
tersebut akan menurun bahkan musnah.
Reber (Muhibin Syah, 2003)
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant adalah sejumlah perilaku
yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons dalam operant
conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang
ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah
stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu,
namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical
conditioning.
- Kelemahan Teori Behavioristik
a) Hanya mengakui adanya stimulus
dan respon yang dapat diamati
b) Kurang memberikan ruang gerak
yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya
sendiri
c) Pebelajar berfikir linier,
konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif
d) Pebelajar atau orang yang belajar
harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu
secara ketat
e) Kontrol belajar harus dipegang oleh
sistem yang berada di luar diri pebelajar
- Kelebihan Teori Behavioristik
Sesuai untuk perolehan kemampuan
yang membutuhkan praktik dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti
kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflex.
Teori belajar kognitif berasal dari
pandangan Kurt Lewin (1890-1947), seorang Jerman yang kemudian beremigrasi ke
Amerika Serikat. Intisari dari teori belajar konstruktivisme adalah bahwa
belajar merupakan proses penemuan (discovery) dan transformasi informasi kompleks
yang berlangsung pada diri seseorang. Individu yang sedang belajar dipandang
sebagai orang yang secara konstan memberikan informasi baru untuk
dikonfirmasikan dengan prinsip yang telah dimiliki, kemudian merevisi prinsip
tersebut apabila sudah tidak sesuai dengan informasi yang baru diperoleh. Agar
siswa mampu melakukan kegiatan belajar, maka ia harus melibatkan diri secara
aktif.
Teori kognitivisme ini memiliki
perspektif bahwa para peserta didik memproses informasi dan pelajaran melalui
upayanya mengorganisir, menyimpan, dan kemudian menemukan hubungan antara
pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang telah ada. Teori ini menekankan
pada bagaimana informasi diproses.
Karakteristik :
a) Belajar adalah proses mental
bukan behavioral
b) Siswa aktif sebagai penyadur
c) Siswa belajar secara individu
dengan pola deduktif dan induktif
d) Instrinsik motivation, sehingga
tidak perlu stimulus
e) Siswa sebagai pelaku untuk
menuntun penemuan
f) Guru memfasilitasi terjadinya
proses insight.
Beberapa tokoh dalam aliran
kognitivisme
a) Teori Gestalt dari Wertheimer dkk
Menekankan pada kebermaknaan dan
pengertian sehingga tidak menimbulkan ambiguitas dalam proses pembelajaran.
b) Teori Schemata Piaget
Teori ini mengatakan bahwa
pengalaman kependidikan harus dibangun di sekitar struktur kognitif siswa.
Struktur kognitif ini bisa dilihat dari usia serta budaya yang dimilik oleh
siswa.
c) Teori Belajar Sosial Bandura
Bandura mempercayai bahwa model akan
mempunyai pengaruh yang
paling efektif apabila mereka dianggap atau dilihat sebagai orang yang
mempunyai kehormatan, kemampuan, status tinggi, dan juga kekuatan,
sehingga dalam banyak hal seorang guru bisa menjadi model yang paling
berpengaruh.
d) Pengolahan Informasi Norman
Norman melihat bahwa materi baru
akan dipelajari dengan menghubungkannya dengan sesuatu yang sudah diketahuinya,
yang dalam teorinya di sebut learning by analogy. Pengajaran yang efektif
memerlukan guru yang mengetahui struktur kognitif siswa.
Menurut cara pandang teori konstruksivisme
belajar adalah proses untuk membanguin pengetahuan melalui pengalaman nyata
dari lapangan. Artinya siswa akan cepat memiliki pengetahuan jika pengetahuan
itu dibangu atas dasar realitas yang ada di dalam masyarakat. Evaluasi
pembelajaran. Dalam treori kontruktivisme, evaluasi tidak hanya dimaksudkan
untuk mengetahui kualitas siswa dalam memahami materi dari guru. Evaluasi
menjadi saran untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan proses pembelajaran.
Konstruktivisme sebagai deskripsi
kognitif manusia seringkali diasosiasikan dengan pendekatan paedagogi yang
mempromosikan learning by doing. Teori ini memberikan keaktifan terhadap
manusia untuk belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau teknologi,
dan hal lain yang diperlakukan guna mengembangkan dirinya sendiri.
Menurut asalnya, teori
konstruktivime bukanlah teori pendidikan. Teori ini berasal dari disiplin
filsafat, khususnya filsafat ilmu. Pada tataran filsafat, teori ini membahas
mengenai bagaimana proses terbentuknya pengetahuan manusia. Menurut teori ini
pembentukan pengetahuan terjadi sebagai hasil konstruksi manusia atas realitas
yang dihadapinya. Dalam perkembangan kemudian, teori ini mendapat pengaruh dari
disiplin psikologi terutama psikologi kognitif Piaget yang berhubungan dengan
mekanisme psikologis yang mendorong terbentuknya pengetahuan. Menurut kaum
konstruktivis, belajar merupakan proses aktif siswa mengkostruksi pengetahuan.
Proses tersebut dicirikan oleh beberapa hal sebagai berikut:
- Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan siswa
dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan, dan alami. Konstruksi makna
ini dipengaruhi oleh pengertian yang telah ia punyai.
- Konstruksi makna merupakan suatu proses yang
berlangsung terus-menerus seumur hidup.
- Belajar bukan kegiatan mengumpulkan fakta melainkan
lebih berorientasi pada pengembangan berpikir dan pemikiran dengan cara
membentuk pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil dari perkembangan
melainkan perkembangan itu sendiri. Suatu perkembangan yang menuntun
penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.
- Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu
skemata seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut.
Situasi disekuilibrium merupakan situasi yang baik untuk belajar
- Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman belajar
dengan dunia fisik dan lingkungan siswa.
- Hasil belajar siswa tergantung pada apa yang sudah
diketahuinya.
Bagi kaum konstruktivis, belajar
adalah suatu proses organik untuk menemukan sesuatu, bukan suatu proses mekanis
untuk mengumpulkan fakta. Dalam konteks yang demikian, belajar yang bermakna
terjadi melalui refleksi, pemecahan konflik pengertian dan selalu terjadi
pembaharuan terhadap pengertian yang tidak lengkap.
Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut
dapat ditarik sebuah inferensi bahwa menurut teori konstruktivisme belajar
adalah proses mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengabstraksi pengalaman
sebagai hasil interaksi antara siswa dengan realitas baik realitas pribadi,
alam, maupun realitas sosial. Proses konstruksi pengetahuan berlangsung secara
pribadi maupun sosial. Proses ini adalah proses yang aktif dan dinamis.
Beberapa faktor seperti pengalaman, pengetahuan awal, kemampuan kognitif dan
lingkungan sangat berpengaruh dalam proses konstruksi makna.Argumentasi para
konstruktivis memperlihatkan bahwa sebenarnya teori belajar konstrukvisme telah
banyak mendapat pengaruh dari psikologi kognitif, sehingga dalam batas tertentu
aliran ini dapat disebut juga neokognitif.
Walaupun mendapat pengaruh psikologi
kognitif, namun harus diakui bahwa stressing point teori ini bukan terletak
pada berberapa konsep psikologi kognitif yang diadopsinya (pengalaman,
asimilasi, dan internalisasi).melainkan pada konstuksi pengetahuan. Konstruksi
pengetahuan yang dimaksudkan dalam pandangan konstruktivisme yaitu pemaknaan
realitas yang dilakukan setiap orang ketika berinteraksi dengan lingkungan.
Dalam konteks demikian, konstruksi atau pemaknaan terhadap realitas adalah
berlajar itu sendiri. Dengan asumsi seperti ini, sebetulnya substansi
konstrukvisme terletak pada pengakuan akan hekekat manusia sebagai homo creator
yang dapat mengkonstruksi realitasnya sendiri.
IMPLIKASI TEORI BELAJAR TERHADAP
EVALUASI PENDIDIKAN
Teori Behaviorisme
Implikasi teori ini dalam
pembelajaran tergantung tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran,
karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia.Teori
ini sangat sesuai untuk pengetahuan yang bersifat obyektif, pasti, tetap, tidak
berubah. Dalam hal ini pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar
adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan
(transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar
Menurut teori behaviorisme apa saja
yang diberikan guru (stimulus) dan apa saja yang dihasilkan siswa (respons)
semua harus bisa diamati, diukur, dan tidak boleh hanya implisit (tersirat).
Faktor lain yang juga penting adalah faktor penguat (reinforcement). Penguat
adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respons. Bila penguatan
ditambah (positive reinforcement) maka respons akan semakin kuat. Begitu juga
bila penguatan dikurangi (negative reinforcement) responspun akan tetap
dikuatkan.. Misalnya bila seorang anak bertambah giat belajar apabila uang
sakunya ditambah maka penambahan uang saku ini disebut sebagai positive
reinforcement. Sebaliknya jika uang saku anak itu dikurangi dan pengurangan ini
membuat ia makin giat belajar, maka pengurangan ini disebut negative
reinforcement.
Konsep evaluasi pendidikan sudah
sangat jelas dalam teori ini yaitu melalui pengukuran, pengamatan. Sebab
seseorang dikatakan belajar bila telah mengalami perubahan perilaku. Akan
tetapi perlu diketahui bahwa tidak semua hasil belajar bisa diamati dan diukur,
paling tidak dalam tempo seketika. Semua aspek materi juga tidak bisa diukur
dengan teori ini. Evaluasi dilakukan untuk menilai hasil akhir dari penggunaan
teori ini yaitu perubahan perilaku.
Teori Kognitivisme
Implikasi teori kognitivisme dalam
kegiatan pembelajaran lebih memusatkan perhatian kepada cara berpikir atau
proses mental anak, tidak sekedar kepada hasilnya. Selain itu, peran siswa
sangat diharapkan untuk berinisiatif dan terlibat secara aktif dalam kegiatan
belajar. Teori ini juga memaklumi akan adanya perbedaan individual dalam hal
kemajuan per- kembangan. Oleh karena itu guru harus melakukan upaya untuk
mengatur aktivitas di dalam kelas yang terdiri dari individu – individu ke
dalam bentuk kelompok – kelompok kecil siswa daripada aktivitas dalam bentuk
klasikal.
Teori ini juga mengutamakan peran
siswa untuk saling berinteraksi. Menurut Piaget, pertukaran gagasan – gagasan
tidak dapat dihindari untuk perkembangan penalaran. Walaupun penalaran tidak
dapat diajarkan secara langsung, perkembangannya dapat disimulasi.
Implikasi dalam konsep evaluasi bahwa evaluasi dilakukan selama proses belajar
bukan hanya semata dinilai dari hasil belajar. Jadi, teori ini menitikberatkan
pada proses daripada hasil yang dicapai oleh siswa.
Bagi para penganut aliran
kognitifisme, pembelajaran dipandang sebagai upaya memberikan bantuan kepada
siswa untuk memperoleh informasi atau pengetahuan baru melalui proses discovery
dan internalisasi. Agar discovery dan internalisasi dapat berlangsung secara
benar maka perlu diperhatikan beberapa prinsip pembelajaran yang perlu sebagai
berikut:
- Setiap siswa perlu dimotivasi oleh guru agar merasa
bahwa belajar merupakan suatu kebutuhan, dan bukan sebaliknya sebagai
beban
- Pembelajaran hendaknya dimulai dari hal-hal yang
konkrit ke hal-hal yang abstrak.
- Setiap usaha mengkonseptualisasikan matari pembelajaran
hendaknya diatur sedemikian rupa sehingga memudahkan siswa belajar.
- Pembelajaran hendaknya dirancang sesuai dengan
pengalaman belajar siswa dengan memperhatikan tahap-tahap perkembangannya.
- Materi pelajaran hendaknya dirancang dengan
memperhatikan sequencing penyajian secara logis.
Teori Konstruktivisme
Teori konstruksivisme membawa
implikasi dalam pembelajaran yang harus bersifat kolektif atu kelompok. Proses
sosial masing-masing siswa harus bisa diwujudkan. C. Asri Budiningsih dalam
buku Pembelajaran Moral menyatakan bahwa keberhasilan belajar sangat ditentukan
oleh peran social yang ada dalam diri siswa. Dalam situasi sosial akan terjadi
situasi saling berhubungan, terdapat tata hubungan, tata tingkah laku dan sikap
diantara sesame manusia. Konsekuensinya, siswa harus memiliki keterampilan
untuk menyesuaikan diri (adaptasi) secara cepat.
Bagi kaum konstruktivis, mengajar
bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru kepada siswa, melainkan
suatu penciptaan suasana yang memungkinkan siswa membangun sendiri
pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi aktif guru bersama-sama siswa
dalam membangun pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis,
dan mengadakan justifikasi. Jadi mengajar adalah belajar itu sendiri. Menurut
prinsip konstruktivisme, guru berperan sebagai mediator dan fasilitator yang
membantu agar proses belajar siswa berjalan sebagaimana mestinya. Sebagai
fasilitator dan mediator tugas guru dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Menyediakan pengalaman belajar
yang memungkinkan siswa bertanggung jawab dalam merencanakan aktivitas belajar,
proses belajar serta hasil belajar yang diperolehnya. Dengan demikian menjadi
jelas bahwa memberi kuliah atau ceramah bukanlah tugas utama guru.
Memberikan sejumlah kegiatan yang dapat merangsang keingintahuan siswa dan
mendorong mereka untuk meng-ekspresikan gagasan-gagasannya serta
mengkomukasikan-nya secara ilmiah;
b. Menyediakan sarana belajar yang
merangsang siswa berpikir secara produktif. Guru hendaknya menciptakan
rangsangan belajar melalui penyediaan situasi problematik yang memungkinkan
siswa belajar memecahkan masalah
c. Memonitor, mengevaluasi dan
menunjukkan tingkat perkembangan berpikir siswa. Guru dapat menunjukkan dan
mempertanyakan sejauh mana pengetahuan siswa untuk menghadapi persoalan baru
yang berkaitan dengan pengetahuan yang dimilikinya. (Ditulis Oleh Drs.Agustinus
Maniyeni, M.Pd – Dalam buku “Wawasan Pembelajaran” halaman 1-15)
Konstruktivisme memandang bahwa
pengetahuan non objektif, bersifat temporer, selalu berubah dan tidak menentu.
Belajar adalah penyusunan pengetahuan dari dari pengalaman konkrit, aktifitas
kolaboratif dan refleksi dan interpretasi. Seseorang yang belajar akan memiliki
pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pengalamannya dan
persepektif yang didalam menginterprestasikannya.
Teori ini lebih menekankan pada diri
siswa dalam penyusun pengetahuan yang ingin diperoleh oleh siswa tersebut.
Teori ini memberikan keaktifan terhadap siswa untuk belajar menemukan sendiri
kompetensi, pengetahuan atau teknologi, dan hal lain yang diperlakukan guna
menggembangkan dirinya sendiri.
Adapun tujuan dari teori ini adalah sebagai berikut:
- Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah
tanggung jawab siswa itu sendiri.
- Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengajukan
pertanyaan dan mencari sendiri pertanyaanya.
- Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan
pemahaman konsep secara lengkap.
- Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir
yang mandiri.
- Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar
itu.
Konsep evaluasi pendidikan hampir sama dengan konsep pada teori
kognitivisme yaitu menitikberatkan pada proses. Proses yang dimaksud
disini merupakan sebuah pengalaman yang dialami sendiri oleh masing-masing
siswa (penyusunan pengetahuan oleh siswa itu sendiri).
KONSEP BELAJAR MENURUT PANDANGAN TEORI KOGNITIF
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang Masalah
Belajar seharusnya menjadi kegiatan yang
tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Belajar merupakan salah satu
kebutuhan hidup manusia yang paling penting dalam upaya mempertahankan
hidup dan mengembangkan diri. Dalam dunia pendidikan belajar merupakan
aktivitas pokok dalam penyelenggaraan proses belajar-mengajar. Melalui
belajar seseorang dapat memahami sesuatu konsep yang baru, dan atau
mengalami perubahan tingkah laku, sikap, dan ketrampilan.
Pada dasarnya terdapat dua pendapat
tentang teori belajar yaitu teori belajar aliran behavioristik dan teori
belajar kognitif. Teori belajar behavioristik menekankan pada
pengertian belajar merupakan perubahan tingkah laku, sehingga hasil
belajar adalah sesuatu yang dapat diamati dengan indra manusia langsung
tertuangkan dalam tingkah laku. Seperti yang dikemukakan oleh Ahmadi dan
Supriono (1991: 121) bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang
dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang
baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri
dalam interaksi dengan lingkungannya”.
Sedangkan teori belajar kognitif lebih
menekankan pada belajar merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal
pikiran manusia. Seperti juga diungkapkan oleh Winkel (1996: 53) bahwa
“Belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung
dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan
perubahan-perubahan dalam pengetahuan pemahaman, ketrampilan dan nilai
sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif dan berbekas”.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada
dasarnya belajar adalah suatu proses usaha yang melibatkan aktivitas
mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari proses
interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan
dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, ketrampilan dan nilai
sikap yang bersifat relatif dan berbekas.
- Rumusan Masalah
- Bagaimana konsep belajar menurut pandangan teori kognitif?
- Apa peran teori pembelajaran dalam desain pesan pembelajaran?
- Bagaimana penerapan teori kognitif dalam pembelajaran?
BAB II
PEMBAHASAN
- Konsep Belajar Menurut Pandangan Teori Kognitif
Teori kognitif merupakan salah satu teori
yang paling mendasari penggunaanya dalam proses pembelajaran dari pada
teori seperti Behavioristik dan Konstruktifistik. Teori kognitif lebih
mementingkan proses belajarnya atau proses menuju pemahaman mengenai
sesuatu hal. Berbeda jauh dengan teori Behavioristik yang lebih
mementingkan hasilnya.
Para pakar teori kognitif seperti Piaget,
Bruner, dan Ausubel memberikan makna tersendiri tentang teori kognitif.
Menurut Piaget kegiatan belajar terjadi seturut dengan pola
tahap-tahap perkembangan tertentu dan umur seseorang, serta melalu
proses asimilasi, akomodasi dan equilibrasi.
Menurut Piaget setiap anak mengembangkan
kemampuan berpikirnya menurut tahap yang teratur. Pada satu tahap
perkembangan tertentu akan muncul skema atau struktur tertentu yang
keberhasilannya pada setiap tahap amat bergantung pada tahap sebelumnya.
Adapun tahapan-tahapan tersebut adalah
1. Tahap Sensori Motor(dari lahir sampai kurang lebih umur 2 tahun)
Dalam dua tahun pertama kehidupan bayi
ini, dia dapat sedikit memahami lingkungannya dengan jalan melihat,
meraba atau memegang, mengecap, mencium dan menggerakan. Dengan kata
lain mereka mengandalkan kemampuan sensorik serta motoriknya. Beberapa
kemampuan kognitif yang penting muncul pada saat ini. Anak tersebut
mengetahui bahwa perilaku yang tertentu menimbulkan akibat tertentu pula
bagi dirinya. Misalnya dengan menendang-nendang dia tahu bahwa
selimutnya akan bergeser darinya.
2. Tahap Pra-operasional ( kurang lebih umur 2 tahun hingga 7 tahun)
Dalam tahap ini sangat menonjol sekali
kecenderungan anak-anak itu untuk selalu mengandalkan dirinya pada
persepsinya mengenai realitas. Dengan adanya perkembangan bahasa dan
ingatan anakpun mampu mengingat banyak hal tentang lingkungannya.
Intelek anak dibatasi oleh egosentrisnya yaitu ia tidak menyadari orang
lain mempunyai pandangan yang berbeda dengannya. (benda padat tenggelam)
3. Tahap Operasi Konkrit (kurang lebih 7 sampai 11 tahun)
Dalam tahap ini anak-anak sudah
mengembangkan pikiran logis. Dalam upaya mengerti tentang alam
sekelilingnya mereka tidak terlalu menggantungkan diri pada informasi
yang datang dari pancaindra. Anak-anak yang sudah mampu berpikir secara
operasi konkrit sudah menguasai sebuah pelajaran yang penting yaitu
bahwa ciri yang ditangkap oleh pancaindra seperti besar dan bentuk
sesuatu, dapat saja berbeda tanpa harus mempengaruhi misalnya kuantitas.
Anak-anak sering kali dapat mengikuti logika atau penalaran, tetapi
jarang mengetahui bila membuat kesalahan. (tidalk belajar ujiannya
jelek)
4. Tahap Operasi Formal (kurang lebih umur 11 tahun sampai 15 tahun)
Selama tahap ini anak sudah mampu
berpikir abstrak yaitu berpikir mengenai gagasan. Anak dengan operasi
formal ini sudah dapat memikirkan beberapa alternatif pemecahan masalah.
Mereka dapat mengembangkan hukum-hukum yang berlaku umum dan
pertimbangan ilmiah. Pemikirannya tidak jauh karena selalu terikat
kepada hal-hal yang besifat konkrit, mereka dapat membuat hipotesis dan
membuat kaidah mengenai hal-hal yang bersifat abstrak. (korupsi tidak
sesuai dengan norma-norma dmasyarakat, sosiologi)
Berdasarkan uraian diatas, Piaget membagi
tahapan perkembangan kemampuan kognitif anak menjadi empat tahap yang
didasarkan pada usia anak tesebut.
Teori belajar menurut Bruner
Bruner, melalui teorinya itu
(dalam Suherman E., 2003), mengungkapkan bahwa dalam proses belajar anak
sebaiknya diberi kesempatan untuk memanipulasi benda-benda (alat
peraga). Melalui alat peraga yang ditelitinya itu, anak akan melihat
langsung bagaimana keteraturan dan pola struktur yang terdapat dalam
benda yang sedang diperhatikannya itu. Keteraturan tersebut kemudian
oleh anak dihubungkan dengan keterangan intuitif yang telah melekat pada
dirinya.
Dengan memanipulasi alat-alat peraga,
siswa dapat belajar melalui keaktifannya. Sebagaimana yang dikemukakan
oleh Bruner (dalam Suwarsono, 2002;25), belajar merupakan suatu proses
aktif yang memungkinkan manusia untuk menemukan hal-hal baru di luar
(melebihi) informasi yang diberikan pada dirinya. Sebagai contoh,
seorang siswa yang mempelajari bilangan prima akan bisa menemukan
berbagai hal yang penting dan menarik tentang bilangan prima, sekalipun
pada awal mula guru hanya memberikan sedikit informasi tentang bilangan
prima kepada siswa tersebut. Teori Bruner tentang kegiatan manusia
tidak terkait dengan umur atau tahap perkembangan (berbeda dengan Teori
Piaget). Ada dua bagian yang penting dari teori Bruner (dalam
Suwarsono, 2002;25), yaitu :
- Tahap-Tahap Dalam Proses Belajar
- Teorema-teorema Tentang Cara Belajar dan Mengajar Matematika
-
Penjelasan tentang kedua bagian tersebut adalah sebagai berikut:
Tahap-Tahap Dalam Proses Belajar
Menurut Bruner, jika seseorang
mempelajari suatu pengetahuan (Misalnya mempelajari suatu konsep
Matematika), pengetahuan itu perlu dipelajari dalam tahap-tahap
tertentu, agar pengetahuan itu dapat diinternalisasi dalam pikiran
(struktur kognitif) orang tersebut. Proses internalisasi akan terjadi
secara sungguh-sungguh (yang berarti proses belajar terjadi secara
optimal) jika pengetahuan yang dipelajari itu dipelajari dalam tiga
tahap, yang macamnya dan urutannya adalah sebagai berikut (dalam
Suwarsono,2002;26) :
- Tahap enaktif, yaitu suatu tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan
di mana pengetahuan itu dipelajari secara aktif, dengan menggunakan
benda-benda kongkret atau menggunakan situasi yang nyata.
- Tahap Ikonik, yaitu suatu tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan di
mana pegetahuan itu direpresentasikan (diwujudkan) dalam bentuk bayangan
visual (visual imagery), gambar, atau diagram, yang menggambarkan
kegiatan konkret atau situasi konkret yang terdapat pada tahap enaktif
tersebut di atas.
- Tahap simbolik, yaitu suatu tahap pembelajaran di mana pengetahuan
itu direpresentasikan dalam bentuk simbol-simbol abstrak (Abstract
symbols yaitu simbol-simbol arbiter yang dipakai berdasarkan kesepakatan
orang-orang dalam bidang yang bersangkutan), baik simbol-simbol verbal
(Misalnya huruf-huruf, kata-kata, kalimat-kalimat) lambang-lambang
matematika, maupun lambang-lambang abstrak lainnya.
Menurut Bruner, proses belajar
akan berlangsung secara optimal jika proses pembelajaran diawali dengan
tahap enaktif, dan kemudian jika tahap belajar yang pertama ini telah
dirasa cukup, siswa beralih ke kegiatan belajar tahap kedua, yaitu tahap
belajar dengan menggunakan modus representasi ikonik, dan selanjutnya,
kegiatan belajar itu diteruskan dengan kegiatan belajar tahap ketiga
yaitu tahap belajar dengan menggunakan modus representasi simbolik.
Sebagai contoh, dalam mempelajari penjumlahan dua bilangan cacah,
pembelajaran akan terjadi secara optimal jika mula-mula siswa
mempelajari hal itu dengan menggunakan benda-benda konkret (Misalnya
menggabungkan 3 kelereng dengan 2 kelereng dan kemudian menghitung
banyaknya kelereng semuanya). Kemudian kegiatan belajar digunakan dengan
menggunakan gambar atau diagram yang mewakili 3 kelereng dan 2 kelereng
yang digabungkan tersebut (dan kemudian dihitung banyaknya kelereng
semuanya, dengan menggunakan gambar atau diagram tersebut). Pada tahap
yang kedua ini bisa juga siswa melakukan penjumlahan itu dengan
menggunakan pembayangan visual (visual imagery) dari kelereng-kelereng
tersebut. Pada tahap berikutnya, siswa melakukan penjumlahan kedua
bilangan itu dengan menggunakan lambang-lambang bilangan yaitu 3 + 2 = 5
(dalam Suwarsono,2002;27) .
Di SLTP, dalam mempelajari irisan dua
himpunan, siswa dapat mempelajari konsep tersebut dengan mula-mula
menggunakan contoh nyata (konkret, misalnya dengan mengumpulkan data
tentang siswa-siswa yang pergi ke sekolah dengan naik sepeda dan
siswa-siswa yang menyukai olahraga basket (sebagai contoh), dan kemudian
menentukan siswa-siswa yang pergi ke sekolah dengan naik sepeda dan
menyukai olahraga basket. Keadaan itu kemudian digambarkan dengan
diagram venn. Selanjutnya, irisan dua himpunan dapat didefinisikan
secara simbolik (dengan lambang-lambang), baik dengan lambang-lambang
verbal (kata-kata, kalimat-kalimat) maupun dengan lambang-lambang
matematika (Dalam hal ini notasi pembentuk himpunan) (dalam
Suwarsono,2002;25).
Teori belajar menurut ausubel
Teori pembelajaran Ausubel merupakan
salah satu dari sekian banyaknya teori pembelajaran yang menjadi dasar
dalam cooperative learning. David Ausubel adalah seorang ahli psikologi
pendidikan. Menurut Ausubel bahan subjek yang dipelajari siswa mestilah
“bermakna” (meaningfull). Pembelajaran bermakna merupakan suatu proses
mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam
struktur kognitif seseorang. Struktur kognitif ialah fakta-fakta,
konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan
diingat siswa.
Pembelajaran bermakna adalah suatu proses
pembelajaran di mana informasi baru dihubungkan dengan struktur
pengertian yang sudah dimiliki seseorang yang sedang melalui
pembelajaran.
Pembelajaran bermakna terjadi apabila
siswa boleh menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan
mereka. Artinya, bahan subjek itu mesti sesuai dengan keterampilan siswa
dan mesti relevan dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa. Oleh
karena itu, subjek mesti dikaitkan dengan konsep-konsep yang sudah
dimiliki para siswa, sehingga konsep-konsep baru tersebut benar-benar
terserap olehnya. Dengan demikian, faktor intelektual-emosional siswa
terlibat dalam kegiatan pembelajaran.
Cara Pembelajaran Bermakna dengan Menggunakan Peta Konsep :
1. Pilih suatu bacaan dari buku pelajaran
2. Tentukan konsep-konsep yang relevan
3. Urutkan konsep-konsep dari yang paling inklusif ke yang paling tidak inklusif atau contoh-contoh.
4. Susun konsep-konsep tersebut di atas
kertas mulai dari konsep yang paling inklusif di puncak konsep ke konsep
yang tidak inklusif di bawah.
5. Hubungkan konsep-konsep ini dengan kata-kata penghubung sehingga menjadi sebuah peta konsep.
Faktor-faktor utama yang mempengaruhi
belajar bermakna menurut Ausubel adalah struktur kognitif yang ada,
stabilitas, dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu
dan pada waktu tertentu. Sifat-sifat struktur kognitif menentukan
validitas dan kejelasan arti-arti yang timbul waktu informasi baru masuk
ke dalam struktur kognitif itu; demikian pula sifat proses interaksi
yang terjadi. Jika struktur kognitif itu stabil, dan diatur dengan baik,
maka arti-arti yang sahih dan jelas atau tidak meragukan akan timbul
dan cenderung bertahan. Tetapi sebaliknya jika struktur kognitif itu
tidak stabil, meragukan, dan tidak teratur, maka struktur kognitif itu
cenderung menghambat relajar.
Menurut Ausubel, seseorang belajar dengan
mengasosiasikan fenomena baru ke dalam sekema yang telah ia punya.
Dalam proses itu seseorang dapat memperkembangkan skema yang ada atau
dapat mengubahnya. Dalam proses belajar ini siswa mengonstruksi apa yang
ia pelajari sendiri.
Teori Belajar bermakna Ausuble ini sangat
dekat dengan Konstruktivesme. Keduanya menekankan pentingnya pelajar
mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru kedalam
sistem pengertian yang telah dipunyai. Keduanya menekankan pentingnya
asimilasi pengalaman baru kedalam konsep atau pengertian yang sudah
dipunyai siswa. Keduanya mengandaikan bahwa dalam proses belajar itu
siswa aktif.
Ausubel berpendapat bahwa guru harus
dapat mengembangkan potensi kognitif siswa melalui proses belajar yang
bermakna. Sama seperti Bruner dan Gagne, Ausubel beranggapan bahwa
aktivitas belajar siswa, terutama mereka yang berada di tingkat
pendidikan dasar- akan bermanfaat kalau mereka banyak dilibatkan dalam
kegiatan langsung. Namun untuk siswa pada tingkat pendidikan lebih
tinggi, maka kegiatan langsung akan menyita banyak waktu. Untuk mereka,
menurut Ausubel, lebih efektif kalau guru menggunakan penjelasan, peta
konsep, demonstrasi, diagram, dan ilustrasi.
Inti dari teori belajar bermakna Ausubel
adalah proses belajar akan mendatangkan hasil atau bermakna kalau guru
dalam menyajikan materi pelajaran yang baru dapat menghubungkannya
dengan konsep yang relevan yang sudah ada dalam struktur kognisi siswa.
Langkah-langkah yang biasanya dilakukan
guru untuk menerapkan belajar bermakna Ausubel adalah sebagai berikut:
Advance organizer, Progressive differensial, integrative reconciliation,
dan consolidation.
Empat type belajar menurut Ausubel , yaitu:
1. Belajar dengan penemuan yang bermakna
yaitu mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan materi
pelajaran yang dipelajari itu. Atau sebaliknya, siswa terlebih dahulu
menemukan pengetahuannya dari apa yang ia pelajari kemudian pengetahuan
baru tersebut ia kaitkan dengan pengetahuan yang sudah ada. (langsung
berhadapan dengan bendanya, konkret, siswa langsung menemukan maksud
dalam pembelajaran)
2. Belajar dengan penemuan yang tidak
bermakna yaitu pelajaran yang dipelajari ditemukan sendiri oleh siswa
tanpa mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya, kemudian dia
hafalkan.
3. Belajar menerima (ekspositori) yang
bermakna yaitu materi pelajaran yang telah tersusun secara logis
disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir, kemudian pengetahuan yang
baru ia peroleh itu dikaitkan dengan pengetahuan lain yang telah
dimiliki.
4. Belajar menerima (ekspositori) yang
tidak bermakna yaitu materi pelajaran yang telah tersusun secara logis
disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir , kemudian pengetahuan yang
baru ia peroleh itu dihafalkan tanpa mengaitkannya dengan pengetahuan
lain yang telah ia miliki.
Asumsi yang mendasari teori kognitif dalam mendesain pesan pembelajaran
Penerapan teori kognitif berdasarkan pada
tiga gagasan sangat mapan dalam ilmu kognitif yakni : asumsi saluran
ganda, asumsi kapasitas-terbatas, dan asumsi pemrosesan aktif.
Menurut kriteria intelligibility,
lingkungan desain multimedia harus cocok dengan tata cara manusia
belajar. Pendeknya, prinsip-prisnsip desain multimedia harus sensitif
terhadap sesuatu yang kita ketahui tentang cara orang memproses
informasi.
Apa peran teori pembelajaran dalam desain
pesan pembelajaran? Keputusan-keputusan tentang cara mendesain pesan
pembelajaran selalu mencerminkan konsepsi dasar tentang cara orang
belajar, bahkan saat teori pembelajaran yang menjadi dasar itu tidak
dinyatakan. Mendesain pesan- pesan pembelajaran itu selalu diatur oleh
konsepsi desainernya tentang cara otak manusia bekerja. Misalnya, saat
suatu presentasi multimedia terdiri atas satu layar namun dipenuhi oleh
banyak kata multiwarna dan gambar yang gemerlapan serta selalu bergerak,
maka pilihan itu itu mencerminkan konsepsi desainernya tentang
pembelajran manusia. Kalau kasusnya seperti itu, kemungkinan besar
konsepsi dasar dari sang desainer adalah manusia memiliki sistem
pemrosesan aktif-pasif, single-channel, dan berkapasitas tanpa batas.
Lalu, apa yang terjadi dengan konsepsi diatas? Pertama-tama, desain
seperti ini tidak memanfaatkan mode-mode presentasi auditori, dan
didasarkan pada asumsi single-channel – bahwa semua informasi memasuki
sistem kognitif dalam cara-cara yang sama tanpa memedulikan
modalitasnya. Desain itu tidak memedulikan modalitas mana – misalnya
menyajikan kata-kata sebagai teks atau suara – yang digunkan untuk
menyajikan informasi. Pokonya: informasi bisa disajikan tak peduli
dengan bagaimanapun caranya. Kedua, dengan menyajikan sebegitu banyak
informasi, desain ini didasarkan pada asumsi kapasitas tanpa batas –
yakni, manusia bisa menampung jumlah materi yang tanpa batas. Tugas
desainer adalah sekedar menyampaikan informasi sebanyak banyaknya pada
murid. Ketiga, dengan menyajikan banyak kepingan informasi yang masih
saling terisolasi, maka desain seperti ini didasarkan pada asumsi
pemrosesan pasif – yakni, manusia bertindak sebagai tape recorder
yang bisa menambhakan informasi sebanyak mungkin ke dalam memori
mereka. Pihak-pihak yang belajar tidak perlu bimbingan dalam menata dan
menalar informasi yang disajikan itu.
Apa yang keliru dengan visi murid sebagai pihak yang memiliki sistem single pannel,
kapasitas tak terbatas, dan pemrosesan pasif? Riset baru-baru ini dalam
psikologi kognitif memberikan pandangan yang agak berbeda tentang cara
otak manusia bekerja (Bransford, Brown, & Cocking, 1999; Lambert
& McCombs, 1998). Jadi, masalah dengan konsepsi pembelajaran yang
awam ini adalah bertentangan dengan apa yang diktahui tentang tata cara
orang belajar.
Figur 1.1. tiga asumsi bagi teori kognitif tentang desain pesan pembelajaran atau multimedia learning
|
Dalam bab ini, dibahas tiga asumsi yang mendasari teori kogitif tentang multimedia learning, yakni: dual-channel (saluran ganda), limited-capacity (kapasitas terbatas), dan active-processing (pemrosesan-aktif). Asumsi-asumsi dirangkum dalam figur 1.1
Asumsi |
Deskripsi |
Kutipan terkait |
Saluran-ganda |
Menusia memiliki saluran terpisah untuk memproses informasi visual dan informasi auditori |
Paivio, 1968; Baddeley, 1992 |
Kapasitas-terbatas |
Manusia punya keterbatasan dalam jumlah informasi yang bisa mereka proses dalam masing-masing saluran pada waktu yang sama |
Baddeley, 1992;Chandler & Sweller, 1991 |
Pemrosesan-aktif |
Manusia melakukan pembelajaran aktif dengan memilih informasi masuk
yang relevan, mengorganisasikan informasi-informasi itu ke dalam
representasi mental yang koheren, dan memadukan representasi mental itu
dengan pengetahuan lain |
Mayer, 1999; Wittrock, 1989 |
Oleh karena karya sentral multimedia learning berlangsung dalam memori kerja atau working memory, jadi
mari kita fokus disana. Memori kerja digunakan untuk penyimpanan
sementara dan memanipulasi pengetahuan dalam kesadaran pikiran aktif.
Sebagai contoh, dalam membaca kalimat ini, Anda bisa bisa secara aktif
berkonsentrasi ke beberapa kata tertentu dalam suatu waktu. Dalam
melihat figur 1.2., otak anda mungkin bisa menyimpan image (citra) hanya
beberapa kotak dan panah dalam sekali waktu. Jenis pemrosesan ini –
Anda melakukannya di alam pikiran sadar – terjadi dalam memori kerja
Anda. Sisi kiri kotak berlabel Memori Kerja dalam figur 1.2. mewakili
materi mentah yang masuk ke dalam memori kerja; yakni citra visual
berupa gambar dan citra suara berupa kata-kata. Hal ini didasarkan pada
modalitas indrawi yang biasa disebut sebagai visual dan auditori. Sisi
kanan kotak Memori Kerja mewakili pengetahuan yang sudah terkonstruksi
di dalam memori kerja – model-model mental verbal dan visual serta
keterkaitan diantara mereka. Jadi, ha itu juga didasarkan pada dua mode
representasi yang disebut verbal dan pictorial. Tanda panah dari Suara
ke Citra mewakili konversi mental dari suara (misalnya, kata-kata
“kucing” yang terucapkan) menjadi citra visual (misalnya, citra tentang
“kucing”) – yakni saat anda mendengar suara yang berlafal “kucing” maka
anda mungkin membentuk gambaran mental tentang kucing. Tanda panah dari
Citra ke Suara mewakili konvensi mental atas citra visual (misalnya,
gambaran mental tentang kucing) menjadi citra suara (misalnya, bunyi
dari kata “kucing”) – yakni, anda mungkin secara mental mendengar kata
“kucing” dibunyikan saat anda melihat gambar kucing. Proses ini bisa
terjadi dengan asosiasi mental dengan kata-kata “kucing” yang terucapkan
bisa memunculkan gambaran mental tentang wujud kucing dan sebaliknya.
Pemrosesan kognitif utama yang dipersyaratkan untuk multimedia learning
adalah direpresentasikan oleh panah-panah yang berlabel Memilih Citra,
Memilih Kata, Menata Citra, Menata Kata, dan Memadukan, yang digambarkan
di bagian berikutnya.
Akhirnya, kotak diujung kanan diberi label Memori Jangka Panjang dan saling terkait dengan gudang pengetahuan si murid. Tidak seperti Memori Kerja,
memori jangka panjang ini bisa menampung sangat banyak pengetahuan
dalam periode yang lama. Namun demikian untuk orang yang secara aktif
berpikir tentang materi dalam memori jangka panjang, ia harus dibawa
dulu ke memori kerja (seperti diindikasikan lewat tanda panah dari Memori Jangka Panjang ke Memori Kerja).
Sejalan dengan asumsi saluran ganda,
Memori Sensori dan Memori Kerja dibagi menjadi dua saluran; Ynag bagian
atas menangani suara-suara auditori dan akhirnya representasi verbal.
Yang di bagian bawah menangani citra visual dan akhirnya ke representasi
pictorial. Dalam acara ini, saya mencoba mengompromikan antara
pandangan modalitas sensori/indrawi (yang digunakan untuk menciptakan
dua saluran di sisi kiri memori kerja) dan pandangan mode presentasi
(yang digunakan untuk menciptakan dua saluran di sisi kanan Memori
Kerja).
Sejalan dengan asumsi kapasitas terbatas,
memori kerja memang terbatas dalam proses jumlah pengetahuan dalam
suatu waktu tertentu. Jadi, hanya sejumlah citra yang bisa ditampung di
saluran visual dalam memori kerja pada suatu waktu. Hanya sejumlah kecil
suara yang bisa ditampung di saluran auditori dalam memori kerja pada
suatu waktu.
Sejalan dengan asumsi pemrosesan aktif,
ditambahkan panah-panah untuk menggambarkan proses kognitif memilih
pengetahuan yang akan di proses dalam memori kerja (yakni, panah
berlabel “memilih” yang bergerak dari materi tersaji ke Memori Kerja),
menata materi dalam memori kerja agar menjadi struktur yang koheren
(yakni, panah berlabel “menata” yang bergerak dari salah satu bentuk
representasi lainnya), dan memadukan pengetahuan yang tercipta ini
dengan pengetahuan lainnya termasuk pengetahuan yang diambil dari memori
jangka panjang (yakni, panah yang berlabel “memadukan” yang bergerak
dari Memori Jangka Panjang ke Memori Kerja serta antara representasi
visual dan representasi auditori dalam Memori Kerja).
Figur 1.2. Teori kognitif tentang multimedia pembelajaran
Figur 1.3. Saluran Auditori dan Saluran Visual
Asumsi Saluran-ganda
Asumsi saluran-ganda (dual-channel
assumption) beranggapan bahwa manusia memiliki saluran terpisah bagi
pemrosesan informasi untuk materi visual dan materi auditori. Asumsi
saluran-ganda ini dirangkum dalam Figur 1.3 oleh karena dua saluran,
figur ini juga dibagi dua. Figur 1.3 A menunjukan saluran verbal
auditori. Figur 1.3 B menunjukan saluran visual pictorial. Manusia
memahami suatu informasi yang didapat melalui citra auditori dan citra
pictorial. Pemahaman yang diproses melalui kedua saluran tersebut dan
mempresentasikan serta menyimpannya dalam memori jangka panjang.
Asumsi Kapasitas-terbatas
Manusia bukan mesin atan super komputer,
semua inforamasi yang diperoleh akan diolah, dipadukan, dan
diintegrasikan dengan kapasitas otak. Semua informasi yang masuk tidak
bisa diolah dan disimpan secara langsung ke otak. Beberapa dari
informasi akan diolah menjadi sesuatu yang padu dan dapat dipahami.
Asumsi Pemrosesan aktif
Manusia secara aktif melibatkan dirinya
dalam pemrosesan aktif untuk mengkonsstruksi representasi mental yang
saling terkait terhadap pengalaman mereka. Proses kogitif aktif ini
meliputi: memberikan perhatian, menata informasi yang masuk dengan
pengetahuan lainnya. Pendeknya, manusia adalah prosesor aktif yang
menalar dan memasukakalkan setiap informasi yang ada. Manusia bukan
prosesor pasif yang hanya menerima merekam sesuatu dan menyimapnnya di
memori dan dapat diputar olah kapan saja.
- Penerapan teori kognitif dalam dessain pesan pembelajaran
Penerapan sesungguhnya ada dalam proses
belajar, baik proses belajar dalam kelas ataupun diluar. Terpenting
dalam penerapan teori kognitif ini dapat bermakna dan munuju pemahaman
sesuai kemampuan individu dalam rentang waktu yang berbeda. Kegiatan
pembelajarannya mengikuti prinsip-prisip sebagai berikut :
- Siswa bukan sebagai orang dewasa yang mudah dalam proses
berpikirnya. Mereka mengalami perkembangan kognitif melalui tahap-tahap
tertentu.
- Anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar akan dapat belajar
dengan baik, terutama jika menggunakan benda-benda konkrit. Benda nyata
sebagai objek belajarnya sehingga memudahkan menuju pemahaman. Misalnya
mengenalkan tumbuhan juga sebagai mahluk hidup, diharapan siswa dapat
melihat wujud tumbuhan didepannya. Tentunya belajar bukan hanya dalam
kelas. Siswa bisa belajar diluar dengan bimbingan guru yang mengajar.
- Keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar amat dipentingkan
karena hanya dengan mengaktifkan siswa maka proses asimilasi dan
akomodasi pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi dengan baik.
- Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu
mengaitkan pemahaman atau informasi baru dengan struktur kognitif yang
telah dimiliki siswa.
- Pemahan dan retensi akan meningkat jika materi pelajaran disusun
dengan menggunakan pola atau logika tertentu, dari sederhana ke
kompleks.
- Pemahaman dan retensi siswa akan lebih bermakna dari pada belajar
menghafal. Agar bermakna informasi yang ada harus disesuaikan dan
dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa, tugas guru
adalah menunjukan hubungan antara apa yang sedang dipelajari dengan apa
yang telah diketahui siswa.
- Adanya perbedaan individual pada diri siswa perlu diperhatikan,
karena faktor ini sangat mempengaruhi proses dan keberhasilan belajar
siswa. Perbedaan tersebut misalnya motivasi, persepsi, kemampuan
berfikir, pengetahuan awal, dan sebagainya.
Hakikat belajar menurut teori kognitif
yaitu aktifitas belajar yang berkaitan dengan ppenataan informasi,
reorganisasi percetual, dan proses internal.
Langkah-langkah pembelajaran yang dikemukakan oleh tokoh bersangkutan yaitu sebagai berikut :
- Langkah-langkah pembelajaran menurut Piaget
- Menentukan tujuan pembelajaran
- Memeilih materi pelajaran
- Menentukan topik yang dapat dipelajari oleh siswa secara aktif
- Menentukan kegiatan belajar yang sesuai untuk topik-topik tersebut,
misalnya penelitian, memecahkan masalah, diskusi, simulasi dan
sebagainya.
- Mengembangkan metode pembelajaran untuk merangsang kreatifitas dan cara berfikir siswa.
- Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa.
- Langkah-langkah pembelajaran menurut Bruner:
- Menentukan tujuan pembelajaran.
- Melakukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal, minat, gaya belajar).
- Memilih materi pelajaran.
- Menentukan topik-topik yang dapat dipelajari siswa secara induktif.
- Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh, ilustrasi, tugas, dan sebagainya untuk dipelajari siswa.
- Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari
yang konkret ke abstrak, atau dari tahap enaktif, ikonik, sampai
simbolik.
- Melukan penilaian proses dan hasil belajar.
- Langkah-langkah pembelajaran menurut Ausubel :
- Menentukan tujuan pembeajaran
- Melakukan identifikasi karakteristik siswa
- Memilih materi pelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa dan mengaturnya dalam bentuk konsep-konsep.
- Menentukan topik-topik dan menampillkannya dalam bentuk advance orgainizer yang akan dipelajari siswa.
- Mempelajari konsep-konsep inti tersebut, dan menarapakannya dalam bentuk nyata atau konkret.
- Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa.
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Diantara para pakar kognitif terdapat 3
pakar terkenal yaitu Piaget, Bruner dan Ausubel. Ketiga tokoh aliran
kognitif diatas secara umum memiliki pandangan yang sama yaitu
mementingkan keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar.
Menurut piaget kegiatan belajar terjadi
sesuai dengan pola tahap-tahap perkembangan tertentu dan umur seseorang,
serta melalui proses asimililasi, akomodasi dan equilibrasi.
Bruner mengatakan bahwa belajar terjadi
lebih ditentukan oleh cara seseorang mengatur pesan atau informasi, dan
bukan ditentukan oleh umur. Proses belajar akan terjadi melalui
tahap-tahap enaktif, ikonik, dan simbolik.
Sementara itu ausubel mengatakan bahwa
proses belajar terjadi jika seseorang mampu mengasimilasikan pengetahuan
yang telah dimilikinya dengan pengetahuan baru. Proses ini akan terjadi
melaluui tahap-tahap memperhatikan stimulus, memahami makna stimulus,
menyimpan dan menggunakan informasi yang sudah dipahami.
DAFTAR PUSTAKA
Budiningsih, C. Asri. 2004. Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Rineka Cipta
Richard E. Mayer. 2009. Multimedia Learning Prinsip-prinsip dan Aplikasi. Tiga Asumsi Teori Kognitif Multimedia Learning hal. 63-71. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Teori belajar Gestalt (Gestalt Theory) ini lahir di Jerman tahun 1912
dipelopori dan dikembangkan oleh Max Wertheimer (1880 – 1943) yang
meneliti tentang pengamatan dan problem solving, dari pengamatannya ia
menyesalkan penggunaan metode menghafal di sekolah, dan menghendaki agar
murid belajar dengan pengertian bukan hafalan akademis. Sumbangannya
ini diikuti tokoh-tokoh lainnya, seperti Wolfgang Kohler (1887 – 1959)
yang meneliti tentang “insight” pada simpanse yaitu mengenai mentalitas
simpanse (ape) di pulau Canary. Kurt Koffka (1886 – 1941) yang
menguraikan secara terperinci tentang hukum-hukum pengamatan, dan Kurt
Lewin (1892 – 1947) yang mengembangkan suatu teori belajar (cognitif
field) dengan menaruh perhatian kepada kepribadian dan psikologi sosial.
Penelitian – penelitian mereka menumbuhkan psikologi Gestalt yang
menekankan bahasan pada masalah konfigurasi, struktur, dan pemetaan
dalam pengalaman.
Istilah ‘Gestalt’ sendiri merupakan istilah bahasa Jerman yang sukar
dicari terjemahannya dalam bahasa-bahasa lain. Arti Gestalt bisa
bermacam-macam sekali, yaitu ‘form’, ‘shape’ (dalam bahasa Inggris) atau
bentuk, hal, peristiwa, hakikat, esensi, totalitas. Terjemahannya dalam
bahasa Inggris pun bermacam-macam antara lain ‘shape psychology’,
‘configurationism’, ‘whole psychology’ dan sebagainya. Karena adanya
kesimpangsiuran dalam penerjemahannya, akhirnya para sarjana di seluruh
dunia sepakat untuk menggunakan istilah ‘Gestalt’ tanpa menerjemahkan
kedalam bahasa lain.
Bagi para ahli pengikut Gestalt, perkembangan itu adalah proses
diferensiasi. Dalam proses diferensiasi itu yang primer adalah
keseluruhan, sedangkan bagian-bagian adalah sekunder; bagian-bagian
hanya mempunyai arti sebagai bagian daripada keseluruhan dalam hubungan
fungsional dengan bagian-bagian yang lainnya; keseluruhan ada terlebih
dahulu baru disusul oleh bagian-bagiannya. Bila kita bertemu dengan
seorang teman misalnya, dari kejauhan yang kita saksikan terlebih dahulu
bukanlah bajunya yang baru atau pulpennya yang bagus, atau dahinya yang
terluka, melainkan justru teman kita itu sebagai keseluruhan, sebagai
Gestalt; baru kemudian menuyusul kita saksikan adanya hal-hal khusus
tertentu seperti bajunya yang baru, pulpennya yang bagus, dahinya yang
terluka, dan sebagainya.
Suatu konsep yang penting dalam psikologi Gestalt adalah tentang
“insight” yaitu pengamatan dan pemahaman mendadak terhadap
hubungan-hubungan antar bagian-bagian dalam suatu situasi permasalahan.
Dalam pelaksanaan pembelajaran dengan teori Gestalt, guru tidak
memberikan potongan-potongan atau bagian-bagian bahan ajaran, tetapi
selalu satu kesatuan yang utuh. Guru memberikan suatu kesatuan situasi
atau bahan yang mengandung persoalan-persoalan, dimana anak harus
berusaha menemukan hubungan antar bagian, memperoleh insight agar ia
dapat memahamii keseluruhan situasi atau bahan ajaran tersebut.
“insight” itu sering dihubungkan dengan pernyataan spontan seperti “aha”
atau “oh, see now”. Menurut teori Gestalt ini pengamatan manusia pada
awalnya bersifat global terhadap objek-objek yang dilihat, karena itu
belajar harus dimulai dari keseluruhan, baru kemudian berproses kepada
bagian-bagian. Pengamatan artinya proses menerima, menafsirkan, dan
memberi arti rangsangan yang masuk melalui indera-indera seperti mata
dan telinga.
Hukum pengamatan menurut teori Gestalt meliputi :
1. Hukum Keterdekatan, artinya yang terdekat merupakan Gestalt.
2. Hukum Ketertutupan, artinya yang tertutup merupakan Gestalt.
3. Hukum Kesamaan, artinya yang sama merupakan Gestalt.
Suatu hukum yang terkenal dari teori Gestalt yaitu hukum Pragnanz, yang
kurang lebih berarti teratur, seimbang, simetri, dan harmonis. Untuk
menemukan Pragnanz diperlukan adanya pemahaman atau insight, menurut
Ernest hilgard ada enam ciri dari belajar pemahamn ini yaitu :
1. Pemahaman dipengaruhi oleh kemampuan dasar.
2. Pemahaman dipengaruhi oleh pengalaman belajar yang lalu yang relevan.
3. Pemahaman tergantung kepada pengaturan situasi, sebab insight itu
hanya mungkin terjadi apabila situasi belajar itu diatur sedemikian rupa
sehingga segala aspek yang perlu dapat diamati.
4. Pemahaman didahului oleh usaha coba-coba, sebab insight bukanlah hal
yang dapat jatuh dari langit dengan sendirinya, melainkan adalah hal
yang harus dicari.
5. Belajar dengan pemahaman dapat diulangi, jika sesuatu problem yang
telah dipecahkan dengan insight lain kali diberikan lagi kepada pelajar
yang bersangkutan, maka dia dengan langsung dapat memecahkan problem itu
lagi.
6. Suatu pemahaman dapat diaplikasikan atau dipergunakan bagi pemahaman situasi lain.
Aplikasi teori Gestalt dalam proses pembelajaran antara lain :
1. Pengalaman tilikan (insight); bahwa tilikan memegang peranan yang
penting dalam perilaku. Dalam proses pembelajaran, hendaknya peserta
didik memiliki kemampuan tilikan yaitu kemampuan mengenal keterkaitan
unsur-unsur dalam suatu obyek atau peristiwa.
2. Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning); kebermaknaan
unsur-unsur yang terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses
pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu unsur akan makin efektif
sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam kegiatan
pemecahan masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan pengembangan
alternatif pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari peserta didik
hendaknya memiliki makna yang jelas dan logis dengan proses
kehidupannya.
3. Perilaku bertujuan (pusposive behavior); bahwa perilaku terarah pada
tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons,
tetapi ada keterkaitannya dengan dengan tujuan yang ingin dicapai.
Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal
tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari
tujuan sebagai arah aktivitas pengajaran dan membantu peserta didik
dalam memahami tujuannya.
4. Prinsip ruang hidup (life space); bahwa perilaku individu memiliki
keterkaitan dengan lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, materi
yang diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi
lingkungan kehidupan peserta didik.
5. Transfer dalam Belajar; yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam
situasi pembelajaran tertentu ke situasi lain. Menurut pandangan
Gestalt, transfer belajar terjadi dengan jalan melepaskan pengertian
obyek dari suatu konfigurasi dalam situasi tertentu untuk kemudian
menempatkan dalam situasi konfigurasi lain dalam tata-susunan yang
tepat. Judd menekankan pentingnya penangkapan prinsip-prinsip pokok yang
luas dalam pembelajaran dan kemudian menyusun ketentuan-ketentuan umum
(generalisasi). Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik
telah menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan dan menemukan
generalisasi untuk kemudian digunakan dalam memecahkan masalah dalam
situasi lain. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat membantu peserta
didik untuk menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi yang
diajarkannya.
References :
Marada. 2008. Belajar Psikologi Gestalt dan Implikasinya di dalam
Belajar dan pembelajaran. (online) Tersedia :
http://maradagv.multiply.com/journal/item/32 Diakses 17 Maret 2010.
Riyanto, Bambang. 2008. Teori Belajar Gestalat. (online) Tersedia:
http://bambangriyantomath.wordpress.com/2009/05/29/teori-belajar-gestalt/.
Diakses 17 Maret 2010.
Sagala, Syaiful. 2010. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung : Alfabeta.
Sudrajat, Akhmad. 2008. Teori-Teori Belajar. (online) Tersedia :
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/02/teori-teori-belajar/.
Diakses 17 Maret 2010
pengertian belajar menurut asosiasi
PENDAHULUAN
Dari beragam pengertian tentang pendidikan,
pendidikan dapat juga dipandang sebagai proses mereproduksi dan
mengelaborasi sistim nilai dan budaya ke arah yang lebih baik, antara
lain dalam hal pembentukan wawasan, kepribadian, keterampilan dan
kematangan intelektual peserta didik. Dalam lembaga formal proses
reproduksi sistim nilai dan budaya ini dilakukan terutama dengan mediasi
proses belajar mengajar sejumlah mata pelajaran dalam kelas.
Melalui
berbagai strategi pembelajaran dan pengembangan potensi diri, peserta
didik memperoleh bekal pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang
diperlukan untuk memahami dan menyesuaikan diri terhadap fenomena dan
perubahan-perubahan di lingkungan sekitar dirinya, disamping memenuhi
keperluan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Pembelajaran dan pengembangan potensi ini merupakan salah satu kunci
keberhasilan peningkatan kompetensi sumber daya manusia dalam memasuki
dunia teknologi, termasuk teknologi informasi pada era globalisasi.
Pembelajaran,
baik dalam konteks pendidikan di sekolah maupun pendidikan luar
sekolah, pada jenjang dan dengan menggunakan pendekatan, strategi serta
model apa pun harus benar-benar efektif. Pembelajaran yang efektif
dicirikan antara lain oleh tingginya kemampuan pembelajaran tersebut
dalam menyajikan secara optimal tiga dimensi pembelajaran sebagai
proses, produk dan sikap. Dimensi proses pembelajaran menuntut guru
untuk melibatkan peserta didik secara aktif kedalam kegiatan-kegiatan
dalam upaya memperoleh hasil belajar. Kegiatan ini sering kali
berhubungan metode ilmiah (Scienctific Method) dan keterampilan proses.
Dimensi produk pendidikan sains berhubungan dengan sejumlah fakta, data,
konsep, hukum, atau teori dan sejumlah keterampilan yang harus dikuasai
peserta didik sebagaimana tertuang dalam kurikulum atau silabus
pembelajaran. Dimensi sikap merupakan hasil internalisasi dari akumulasi
pengetahuan dan pengalaman peserta didik dalam mengikuti proses
pembelajaran. Dalam penjelasan sederhana, dimensi sikap adalah cara
pandang dan tindakan peserta didik terhadap sesuatu yang dilandasi oleh
wawasan dan pengalaman yang diperolehnya dalam pembelajaran. Dimensi
sikap ini sering disebut sebagai sikap ilmiah (Scientific Attitude) dan
moralitas.
Pembelajaran yang efektif juga dicirikan oleh tingginya
kadar on-task (aktivitas edukatif) dan rendahnya kadar off-task
(aktivitas non-edukatif) peserta didik dalam pembelajaran. Menurut
Horsley (1990:42) salah satu upaya untuk meningkatkan kadar on-task
peserta didik adalah dengan mengembangkan kegiatan hands-on (psikomotor)
dan minds-on (kognitif-afektif) melalui sejumlah keterampilan (skill)
yang dilakukan peserta didik dalam kelas. Menurutnya ada empat jenis
keterampilan: keterampilan laboratorium (laboratory skills),
keterampilan intelektual (intellectual skills), keterampilan berpikir
dasar (generic thinking skills) dan keterampilan berkomunikasi
(communications skills).
Dalam menyelenggarakan pembelajaran dengan
pendekatan dan model apa pun guru harus tetap pro aktif sebagai
fasilitator; mau memonitor seberapa besar kadar on-task peserta didik,
seberapa banyak keterampilan dan sikap ilmiah peserta didik yang dapat
dikembangkan, dan sejauh mana materi pembelajaran dikuasai peserta
didik.
Untuk dapat menyelenggarakan pembelajaran yang efektif salah
satu faktor yang turut berpengaruh adalah ketepatan guru dalam memilih
pendekatan dan model pembelajaran yang digunakan. Pemilihan model ini
dapat didasarkan pada pertimbangan karakteristik materi pembelajaran,
dasar filsafat dan psikologi tentang peserta didik, tujuan dan kebutuhan
praktis serta tipe kegiatan belajar yang ditetapkan. Berkenaan dengan
tipe kegiatan belajar, masing-masing tipe menunjukkan tingkatan
pengorganisasian mulai dari sangat mekanistis (seperti Signal Learning,
Stimulus Response Learning, Chaining Learning) hingga kegiatan belajar
yang lebih bersifat organik (misalnya Multiple Discrimination Learning,
Concept Learning, Principle Learning, dan Problem-solving). Klasifikasi
lain yang lebih sederhana tentang tipe kegiatan belajar adalah: tipe
kegiatan belajar mengajar keterampilan, tipe kegitan belajar
pengetahuan, tipe kegiatan belajar sikap, dan tipe kegiatan belajar
pemecahan masalah (H.D Sudjana, 2000:117-120).
BAB II
II. TEORI ASOSIASI
Menurut
teori Asosiasi, kegiatan pembelajaran akan efektif apabila interaksi
antara pendidik dengan peserta didik dilakukan melalui stimulus dan
respons (S-R). Kegiatan pembelajaran adalah proses menghubungkan
stimulus (S) dengan respons (R). Berdasarkan teori ini, pembelajaran
makin efektif apabila peserta didik makin giat belajar dan makin tinggi
kemampuannya dalam meng- hubungkan simulus dan respons. Prinsip-prinsip
yang digunakan dalam teori ini adalah: kesiapan (readiness) berkaitan
dengan motivasi peserta didik, latihan (exercise) yaitu kegiatan
berulang peserta didik dalam menghubungkan stimulus-respons, dan
pengaruh (effect) yang berhubungan dengan hasil kegiatan dan manfaat
yang dirasakan langsung oleh peserta didik dalam dunia kehidupannya.
Prinsip ‘pengaruh’ berkaitan pula dengan penciptaan suasana,
penghargaan, celaan, hukuman, dan ganjaran.
Jika kita telaah lebih
lanjut, di samping hal-hal positif dari teori Asosiasi, kita menemukan
adanya hal-hal yang negatif dari teori ini. Di antaranya, teori ini
mengenyampingkan peranan minat, kreativitas, dan apirasi peserta didik.
Selain itu teori ini juga lebih menekankan peluang belajar individual,
dominasi kemampuan pendidik atau sumber belajar lainnya dalam
menciptakan stimulus (Sudjana, 2000:178).
Karena tidak semua perilaku
belajar dapat dijelaskan dengan pelaziman, teori Asosiasi biasnya
menambahkan konsep belajar sosial (social learning) dari Bandura.
Menurut Bandura, belajar terjadi karena peniruan (imitation). Kemampuan
meniru respons adalah penyebab utama belajar.
Teori belajar sosial memiliki beberapa konsep dasar. Konsep konsep tersebut adalah:
1)
Pemodelan (modelling), seseorang belajar dengan cara meniru perilaku
orang lain dan pengalaman vicarious yaitu belajar dari keberhasilan dan
kegagalan orang lain;
2) Fase Belajar, terdiri dari fase perhatian
terhadap model (attentional phase), fase mengendapkan hasil
memperhatikan model dalam pikiran pebelajar (retention phase), fase
menampilkan ulang perilaku model oleh pebelajar (reproduction phase) dan
fase motivasi (motivation phase) ketika peserta didik berkeinginan
mengulang-ulang perilaku model yang mendatangkan konsekuensi-konsekuensi
positif dari lingkungan;
3) Belajar Vicarious, seseorang belajar
dengan melihat apakah orang lain diberi ganjaran atau hukuman waktu
terlibat dalam perilaku-perilaku tertentu;
4) Pengaturan-sendiri
(self-regulation), manusia mengamati, mempertimbangkan, memberi ganjaran
atau hukuman terhadap perilakunya sendiri.
BAB III
PEMBAHASAN
Pengertian Asosiasi:
Menghubungkan
antara satu peristiwa dengan peristiwa lain, antara seseorang dengan
orang lain yang dipandang sebagai rangkaian yang saling berhubungan dan
keterkaitan satu sama lain.
Banyak teori dalam metodologi
pembelajaran dilatarbelakangi oleh konsepsi-konsepsi psikologi tentang
manusia. Sekurang-kurangnya ada empat pendekatan psikologi yang sangat
dominan dalam melahirkan teori-teori tentang manusia: psikoanalisa,
behaviorisme, psikologi kognitif, dan psikologi humanistis.
Tindakan-tindakan persuasif dalam kegiatan pendidikan luar sekolah yang
berorientasi untuk membentuk citra tertentu dalam masyarakat sangat
dipengaruhi oleh Psikoanalisa yang melukiskan manusia sebagai makhluk
yang digerakkan oleh keinginan-keinginan terpendam (Homo Volens).
Behaviorisme memandang manusia sebagai makhluk yang dikendalikan dan
digerakkan sepenuhnya oleh lingkungan (Homo Mechanicus), dari psikologi
ini muncul definisi belajar sebagai perubahan perilaku. Pengertian
belajar sebagai proses pengolahan informasi seperti pada teori Gestalt
dan teori Medan didasarkan pada psikologi koginitif yang melihat manusia
sebagai makhluk yang aktif mengorganisasikan dan mengolah stimuli yang
diterimanya (Homo Sapiens). Adapun teknik pembelajaran transaksional dan
pembelajaran terpadu, dan pendekatan STS (Science – Technology and
Society) banyak dilandasi oleh konsepsi psikologi humanisme yang
menggambarkan manusia sebagai pelaku aktif dalam merumuskan strategi
transaksional dengan lingkungan (Homo Ludens). Konsepsi-konsepsi dasar
yang terdapat dalam keempat psikologi tersebut semestinya dipahami
dengan sungguh-sungguh oleh para pendidik sehingga ia mampu dengan tepat
mengimplementasi-kannya sesuai dengan karakteristik peserta didik,
program, dan model pembelajaran yang dipilihnya.
1. Pandangan Penulis terhadap Teori Asosiasi dalam Pembelajaran Partisipatif
Teori
Asosiasi, sebagaimana nampak dari tokoh-tokoh pencetusnya (Thorndike,
James Watson dan Wiliams James) adalah teori belajar yang didasarkan
pada psikologi Behavioristik. Penggunaan teori ini dalam pendidikan akan
memperlakukan manusia sesuai dengan pandangan kaum Behaviorisme tentang
manusia.
Para penganut Behaviorisme hanya menganalisa perilaku
belajar yang nampak saja, yang dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan.
Menurut mereka seluruh perilku manusia -kecuali instink- adalah hasil
belajar. Belajar artinya perubahan perilaku organisme sebagai pengaruh
lingkungan. Behaviorisme tidak mempersoalkan apakah manusia baik atau
jelek, rasional atau emosional; behaviorisme hanya ingin mengetahui
bagaimana perilakunya dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan
(stimulus). Dari sinilah timbul konsep “manusia mesin” (Homo
Mechanicus). Dalam pandangan behaviorisme – sebagaimana pandangan
pendahulunya: Aristoteles dan John Locke – manusia adalah binatang
tingkat tinggi dengan “jiwa” berupa tabularasa. Menurut mereka manusia
lahir dengan tidak memiliki sifat-sifat sosial dan atau psikologis (J
Rakhmat, 1998:24). Oleh karenanya teori belajar bagi manusia dapat
dikembangkan dari cara belajar berbagai jenis organisme (binatang)
lainnya, karena kaum behaviorisme adalah juga penganut faham Darwinisme
yang meyakini bahwa manusia merupakan hasil evolusi dari organisme yang
lebih rendah.
Dalam teori Asosiasi biasanya digunakan sejumlah konsep
belajar yang dikembangkan oleh kaum behavioris untuk mengefektifkan
pengaruh lingkungan terhadap hasil belajar. Metode yang paling primitif
adalah metode pelaziman klasik (classical conditioning). Diambil dari
Sechenov (1829-1905) dan Pavlov (1849-1936), pelaziman klasik adalah
memasangkan stimuli yang netral atau stimuli terkondisi (conditioned
stimulus) dengan stimuli tertentu yang tak terkondisikan (unconditioned
stimulus) yang melahirkan perilaku tertentu. Setelah pemasangan ini
terjadi berulang-ulang, stimuli yang netral menghasilkan perilaku
tertentu yang terkondisikan. Sejalan dengan Pavlov adalah Hukum Pengaruh
(Law of Effect) dari E.L. Thorndike. Hukum pengaruh mengemukakan bahwa
jika suatu tindakan diikuti oleh suatu perubahan yang memuaskan dalam
lingkungan, kemungkinan bahwa tindakan itu diulangi dalam situasi yang
mirip, akan meningkat. Sebaliknya jika suatu tindakan diikuti oleh suatu
perubahan yang tidak memuaskan dalam lingkungan, kemungkinan bahwa
tindakan itu diulangi dalam situasi yang mirip, akan menurun. Jadi,
konsekuensi-konsekuensi dari perilaku seseorang pada suatu saat,
memegang peranan penting dalam menentukan perilaku orang itu
selanjutnya.
Skiner menambahkan jenis pelaziman yang lain. Ia
menyebutnya operant conditioning. Pelaziman jenis ini berkaitan dengan
proses memperteguh respon yang baru dengan mengasosiasikannya pada
stimuli tertentu berkali-kali. Oleh karenya pelaziman operant sering
menggunakan peneguhan (reinforcement) untuk memperkuat hasil belajar
yang diharapkan. Pada operant conditioning inilah dikenal prinsip
ganjaran (reward) dan hukuman (punishment).
Teori belajar Bandura
dapat dijadikan landasan tentang pentingnya penggunaan metode
demonstrasi oleh guru atau kerja kelompok peserta didik dalam
pembelajaran partisipatif. Teori ini juga sangat efektif untuk dijadikan
landasan dalam menanamkan sikap ilmiah dan motivasi pada peserta didik
berkenaan dengan nilai-nilai instrinsik dari pembelajaran partisipatif,
terutama dengan penerapan teori Modelling. Melalui ini peserta didik
akan melakukan peniruan terhadap apa yang diamatinya nampak pada kinerja
guru dan teman sebaya di kelas.
Dengan mencermati karakteristik
psikologi belajar Behavioristik yang melandasi teori belajar Asosiasi
serta dihubungkan dengan prinsip-prinsip pembelajaran partisipatif,
penulis tidak begitu setuju jika teori Asosiasi dijadikan salah satu
landasan utama pembelajaran partisipatif. Kalau pun teori ini digunakan,
hanya sebatas unsur penunjang pada fase-fase pembelajaran tertentu. Hal
ini didasarkan pada sejumlah alasan sebagai berikut.
Alasan pertama
adalah, teori Asosiasi dikembangkan dari psikologi Behavioristik, suatu
pandangan psikologi yang kurang komprehensif memandang dan
mendeskripsikan karakteristik perilaku belajar manusia, dan hanya
menekankan aktivitas penginderaan terhadap leingkungan dan unsur
pengalaman sebagai mekanisme memperoleh hasil belajar yang benar.
Penulis setuju dengan kritik kaum rasionalis terhadap kaum Behavioris
yang mempertanyakan apakah betul bahwa penginderaan manusia, melalui
pengalaman langsung, sanggup memberikan kebenaran. Dalam banyak hal alat
indera sering tidak akurat dalam memberikan informasi. Bukankah mata
Anda mengatakan bahwa kedua rel kereta api yang sejajar itu bertemu di
ujung sana? Bukankah mata Anda memberikan stimuli bahwa pada batas
permukaan air-udara sebatang tongkat yang tercelup sebagian jika diamati
secara horizontal nampak patah? Sudah barangtentu Anda tidak menerima
stimulus tersebut sebagai pengalaman belajar yang benar! Jika manusia
tunduk sepenuhnya pada perlakuan lingkungan maka manusia akan memperoleh
banyak hasil belajar yang superfisial (dangkal) dalam hal kebenaran.
Alasan
kedua, teori Asosiasi sebagaimana psikologi Behavioristik tidak
mempersoalkan motivasi terutama perilaku yang ‘self-motivated’. Hal ini
bertentangan dengan prinsip pembelajaran partisipatif terutama yang
berhubungan dengan prinsip Berdasarkan Kebutuhan Belajar (Learning Needs
Based), Berorientasi pada Tujuan Kegiatan Pembelajaran (Learning Goals
and Objectives Oriented), prinsip Berpusat pada Peserta didik
(Participant Centered) yang berkaitan dengan latar belakang kehidupan
peserta didik
Penerapan Teori Asosiasi Terhadap Pembelajaran Siswa
1.
Guru menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap sehingga
tujuan pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh
oleh guru
2. Guru tidak banyak memberikan ceramah, tetapi instruksi
singkat yang diikuti contoh-contoh baik dilakukan sendiri maupun
simulasi
3. Bahan pelajaran disusun secara hierarki dari yang sederhana sampai pada yang kompleks
4. Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati
5. Kesalahan harus segera diperbaiki
6. Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan
7. Evaulasi atau penilaian didasari atas perilaku yang tampak.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari paparan terdahulu terutama yang berkaitan dengan pembelajaran asosiasi dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut.
1.
Pembelajaran asosiasi yang biasa digunakan dalam pendidikan luar
sekolah termasuk ke dalam jenis pembelajaran yang lebih bersifat organis
dan sangat cocok untuk pembelajaran yang berorientasi kepada
pengembangan kemampuan peserta didik dalam memecahkan masalah.
2.
Sebagaimana pada model pembelajaran lainnya, penggunaan model
pembelajaran asosiasi tidak bisa lepas dari implementasi psikologi
belajar dan teori pembelajaran. Ada dua teori pembelajaran yang
kerapkali digunakan pada pembelajaran teori Asosiasi dan teori Medan.
3.
Dengan mencermati karakteristik pembelajaran asosiasi, dapat juga
digunakan pada ruang lingkup yang sangat terbatas dan seperlunya.
B. Saran
Dalam akhir makalah ini penulis mengajukan saran-saran sebagai berikut.
1.
Para pendidik atau instrukur pendidikan luar sekolah yang hendak
menggunakan pembelajaran partisipatif hendaknya memperluas dan
memperdalam wawasannya tentang berbagai kajian psikologi dan teori
belajar mutakhir, sehingga dapat dengan kritis dan tepat memilih teori,
metode, dan teknik yang akan digunakan.
2. Untuk lebih meningkatkan
kualitas pembelajaran partisipatif terutama dengan pendekatan
‘pendidikan adragogi’, di samping penggunaan teori Asosiasi dan teori
Medan, sebaiknya digunakan juga teori atau pendekatan belajar
konstruktivisme. Selain menggunakan psikologi behavioristik dan kognitif
semestinya juga memasukkan unsure-unsur psikologi humanistik. Psikologi
ini lebih mengangkat posisi manusia dalam proses pembelajaran terutama
dalam hal motivasi, kreativitas, dan nilai.
3. Penulis mengajak
pembaca untuk merenungkan tulisan Niemi (1997:244) ” . . . dalam
pengembangan profesionalisme, guru bukanlah seorang teoritis melainkan
harus berkemauan untuk aktif bertindak. Tetapi tanpa petunjuk teori
kognitif yang dikembangkan secara sistemik, maka rancangan mengajar,
pembelajaran, dan kegiatan asesmen menjadi tidak sistimatik dan tidak
efektif dalam meningkatkan prestasi peserta didik.”
DAFTAR PUSTAKA
1.
Dahar, R.W.(1988). “Konstruktivisme dalam Mengajar dan Belajar”. Teks
Pidato pada Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada FPMIPA, IKIP
Bandung: tidak diterbitkan.
2. _____.(1991). Teori Teori Belajar. Jakarta: Penerbit Erlangga.
3.
Dahar, R. W. dkk.(1992). Dampak Pertanyaan dan Teknik Bertanya Guru
Selama Proses Belajar Mengajar Ilmu Pengetahuan Alam Pada Berpikir
Siswa. Laporan Penelitian, FPMIPA, IKIP Bandung: tidak diterbitkan.
4.
Hewson, M. G. A’B. (1985). “The Role of Intellectual Environment in The
Origin of Conceptions: an Exploratory Study”, dalam West, L.H.T. &
Pines, A. L. (1985). Cognitive Structure and Conceptual Change. Orlando,
Florida : Academic Press, Inc.
5. Jalaluddin Rakhmat. (1998). Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Karya
6. Sudjana s. (2000). Strategi Pembelajaran. Bandung: Penerbit Falah Production.
7. _______. (2001). Metode dan Teknik Pembelajaran Partisipatif. Bandung: Penerbit Falah Production.
Jangan Lupa berikan komentar Anda tentang blog ini, ataupun tentang posting ini.
Selengkapnya Klik
Teori Belajar Asosiasi