Ganti Background Blog Ini!


DONNY

Rabu, 18 September 2013

TEORI-TEORI BELAJAR



  • TEORI BELAJAR BEHAVIORISME, KOGNITIVISME DAN KONSTRUKTIVISME



  1. Teori Behaviorisme

Teori belajar behaviorisme merupakan teori belajar yang telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Teori ini dicetuskan oleh Gage dan Berliner yang berisi tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi tidaknya perubahan tingkah laku. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. Dengan kata lain proses pembelajaran menurut teori Behaviorisme adalah bahwa proses pembelajaran lebih menekankan pada proses pemberian stimulus (rangsangan) dan rutinitas respon yang dilakukan oleh siswa. Inti pembelajaran dalam pandangan behaviorisme terletak pada stimulus respon (S-R).
Menurut teori behavioristik belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman (Gage, Berliner, 1984) Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh siswa (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila siswa menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan siswa secara individual (Degeng, 2006).

Prinsip-Prinsip dalam Teori Behavioristik


  • a) Obyek psikologi adalah tingkah laku.
  • b) Semua bentuk tingkah laku di kembalikan pada reflek.
  • c) Mementingkan pembentukan kebiasaan.
  • d) Perilaku nyata dan terukur memiliki makna tersendiri.
  • e) Aspek mental dari kesadaran yang tidak memiliki bentuk fisik harus dihindari.

Tokoh-Tokoh Aliran Behaviorisme
a) Edward LeeThorndike
Menurutnya belajar merupakan proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, juga dapat berupa pikiran, perasaan, gerakan atau tindakan. teori ini sering disebut teori koneksionisme.

Connectionism ( S-R Bond) adalah hukum belajar yang dihasilkan oleh Thorndike yang melakukan eksperimen yang terhadap kucing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya:
1) Law of Effect; artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, maka hubungan Stimulus – Respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons, maka semakin lemah pula hubungan yang terjadi antara Stimulus- Respons.

2) Law of Readiness; artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pendayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.

3) Law of Exercise; artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respons akan semakin bertambah erat, jika sering dilatih dan akan semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih.
b) John Watson
Kajian tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperti Fisika atau Biologi yang berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur. Belajar merupakan proses interaksi antara stimulus dan respon, namun keduanya harus dapat diamati dan diukur.
c) Clark L. Hull
Semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Dorongan belajar (stimulus) dianggap sebagai sebuah kebutuhan biologis agar organisme mampu bertahan hidup.
d) Edwin Guthrie
Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan. Hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.
e) Burrhus Frederic Skinner
Konsep-konsep yang dikemukanan tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Respon yang diterima seseorang tidak sesederhana konsep yang dikemukakan tokoh sebelumnya, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku.

Operant Conditioningadalah hukum belajar yang dihasilkan oleh B.F. Skinner yang melakukan eksperimen yang terhadap tikus menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya:
1) Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
2) Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.

Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.


  • Kelemahan Teori Behavioristik

a) Hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati
b) Kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri
c) Pebelajar berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif
d) Pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat
e) Kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar


  • Kelebihan Teori Behavioristik

Sesuai untuk perolehan kemampuan yang membutuhkan praktik dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflex.


  • Teori Kognitivisme

Teori belajar kognitif berasal dari pandangan Kurt Lewin (1890-1947), seorang Jerman yang kemudian beremigrasi ke Amerika Serikat. Intisari dari teori belajar konstruktivisme adalah bahwa belajar merupakan proses penemuan (discovery) dan transformasi informasi kompleks yang berlangsung pada diri seseorang. Individu yang sedang belajar dipandang sebagai orang yang secara konstan memberikan informasi baru untuk dikonfirmasikan dengan prinsip yang telah dimiliki, kemudian merevisi prinsip tersebut apabila sudah tidak sesuai dengan informasi yang baru diperoleh. Agar siswa mampu melakukan kegiatan belajar, maka ia harus melibatkan diri secara aktif.
Teori kognitivisme ini memiliki perspektif bahwa para peserta didik memproses informasi dan pelajaran melalui upayanya mengorganisir, menyimpan, dan kemudian menemukan hubungan antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang telah ada. Teori ini menekankan pada bagaimana informasi diproses.

Karakteristik :
a) Belajar adalah proses mental bukan behavioral
b) Siswa aktif sebagai penyadur
c) Siswa belajar secara individu dengan pola deduktif dan induktif
d) Instrinsik motivation, sehingga tidak perlu stimulus
e) Siswa sebagai pelaku untuk menuntun penemuan
f) Guru memfasilitasi terjadinya proses insight.

Beberapa tokoh dalam aliran kognitivisme
a) Teori Gestalt dari Wertheimer dkk
Menekankan pada kebermaknaan dan pengertian sehingga tidak menimbulkan ambiguitas dalam proses pembelajaran.
b) Teori Schemata Piaget
Teori ini mengatakan bahwa pengalaman kependidikan harus dibangun di sekitar struktur kognitif siswa. Struktur kognitif ini bisa dilihat dari usia serta budaya yang dimilik oleh siswa.
c) Teori Belajar Sosial Bandura
Bandura mempercayai bahwa model akan mempunyai pengaruh yang
paling efektif apabila mereka dianggap atau dilihat sebagai orang yang
mempunyai kehormatan, kemampuan, status tinggi, dan juga kekuatan,
sehingga dalam banyak hal seorang guru bisa menjadi model yang paling berpengaruh.
d) Pengolahan Informasi Norman
Norman melihat bahwa materi baru akan dipelajari dengan menghubungkannya dengan sesuatu yang sudah diketahuinya, yang dalam teorinya di sebut learning by analogy. Pengajaran yang efektif memerlukan guru yang mengetahui struktur kognitif siswa.


  • Teori Konstruktivisme

Menurut cara pandang teori konstruksivisme belajar adalah proses untuk membanguin pengetahuan melalui pengalaman nyata dari lapangan. Artinya siswa akan cepat memiliki pengetahuan jika pengetahuan itu dibangu atas dasar realitas yang ada di dalam masyarakat. Evaluasi pembelajaran. Dalam treori kontruktivisme, evaluasi tidak hanya dimaksudkan untuk mengetahui kualitas siswa dalam memahami materi dari guru. Evaluasi menjadi saran untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan proses pembelajaran.
Konstruktivisme sebagai deskripsi kognitif manusia seringkali diasosiasikan dengan pendekatan paedagogi yang mempromosikan learning by doing. Teori ini memberikan keaktifan terhadap manusia untuk belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau teknologi, dan hal lain yang diperlakukan guna mengembangkan dirinya sendiri.
Menurut asalnya, teori konstruktivime bukanlah teori pendidikan. Teori ini berasal dari disiplin filsafat, khususnya filsafat ilmu. Pada tataran filsafat, teori ini membahas mengenai bagaimana proses terbentuknya pengetahuan manusia. Menurut teori ini pembentukan pengetahuan terjadi sebagai hasil konstruksi manusia atas realitas yang dihadapinya. Dalam perkembangan kemudian, teori ini mendapat pengaruh dari disiplin psikologi terutama psikologi kognitif Piaget yang berhubungan dengan mekanisme psikologis yang mendorong terbentuknya pengetahuan. Menurut kaum konstruktivis, belajar merupakan proses aktif siswa mengkostruksi pengetahuan. Proses tersebut dicirikan oleh beberapa hal sebagai berikut:
  1. Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan, dan alami. Konstruksi makna ini dipengaruhi oleh pengertian yang telah ia punyai.
  2. Konstruksi makna merupakan suatu proses yang berlangsung terus-menerus seumur hidup.
  3. Belajar bukan kegiatan mengumpulkan fakta melainkan lebih berorientasi pada pengembangan berpikir dan pemikiran dengan cara membentuk pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil dari perkembangan melainkan perkembangan itu sendiri. Suatu perkembangan yang menuntun penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.
  4. Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skemata seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut. Situasi disekuilibrium merupakan situasi yang baik untuk belajar
  5. Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman belajar dengan dunia fisik dan lingkungan siswa.
  6. Hasil belajar siswa tergantung pada apa yang sudah diketahuinya.
Bagi kaum konstruktivis, belajar adalah suatu proses organik untuk menemukan sesuatu, bukan suatu proses mekanis untuk mengumpulkan fakta. Dalam konteks yang demikian, belajar yang bermakna terjadi melalui refleksi, pemecahan konflik pengertian dan selalu terjadi pembaharuan terhadap pengertian yang tidak lengkap.
Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut dapat ditarik sebuah inferensi bahwa menurut teori konstruktivisme belajar adalah proses mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengabstraksi pengalaman sebagai hasil interaksi antara siswa dengan realitas baik realitas pribadi, alam, maupun realitas sosial. Proses konstruksi pengetahuan berlangsung secara pribadi maupun sosial. Proses ini adalah proses yang aktif dan dinamis. Beberapa faktor seperti pengalaman, pengetahuan awal, kemampuan kognitif dan lingkungan sangat berpengaruh dalam proses konstruksi makna.Argumentasi para konstruktivis memperlihatkan bahwa sebenarnya teori belajar konstrukvisme telah banyak mendapat pengaruh dari psikologi kognitif, sehingga dalam batas tertentu aliran ini dapat disebut juga neokognitif.
Walaupun mendapat pengaruh psikologi kognitif, namun harus diakui bahwa stressing point teori ini bukan terletak pada berberapa konsep psikologi kognitif yang diadopsinya (pengalaman, asimilasi, dan internalisasi).melainkan pada konstuksi pengetahuan. Konstruksi pengetahuan yang dimaksudkan dalam pandangan konstruktivisme yaitu pemaknaan realitas yang dilakukan setiap orang ketika berinteraksi dengan lingkungan. Dalam konteks demikian, konstruksi atau pemaknaan terhadap realitas adalah berlajar itu sendiri. Dengan asumsi seperti ini, sebetulnya substansi konstrukvisme terletak pada pengakuan akan hekekat manusia sebagai homo creator yang dapat mengkonstruksi realitasnya sendiri.

IMPLIKASI TEORI BELAJAR TERHADAP EVALUASI PENDIDIKAN

Teori Behaviorisme
Implikasi teori ini dalam pembelajaran tergantung tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia.Teori ini sangat sesuai untuk pengetahuan yang bersifat obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Dalam hal ini pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar
Menurut teori behaviorisme apa saja yang diberikan guru (stimulus) dan apa saja yang dihasilkan siswa (respons) semua harus bisa diamati, diukur, dan tidak boleh hanya implisit (tersirat). Faktor lain yang juga penting adalah faktor penguat (reinforcement). Penguat adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respons. Bila penguatan ditambah (positive reinforcement) maka respons akan semakin kuat. Begitu juga bila penguatan dikurangi (negative reinforcement) responspun akan tetap dikuatkan.. Misalnya bila seorang anak bertambah giat belajar apabila uang sakunya ditambah maka penambahan uang saku ini disebut sebagai positive reinforcement. Sebaliknya jika uang saku anak itu dikurangi dan pengurangan ini membuat ia makin giat belajar, maka pengurangan ini disebut negative reinforcement.
Konsep evaluasi pendidikan sudah sangat jelas dalam teori ini yaitu melalui pengukuran, pengamatan. Sebab seseorang dikatakan belajar bila telah mengalami perubahan perilaku. Akan tetapi perlu diketahui bahwa tidak semua hasil belajar bisa diamati dan diukur, paling tidak dalam tempo seketika. Semua aspek materi juga tidak bisa diukur dengan teori ini. Evaluasi dilakukan untuk menilai hasil akhir dari penggunaan teori ini yaitu perubahan perilaku.

Teori Kognitivisme
Implikasi teori kognitivisme dalam kegiatan pembelajaran lebih memusatkan perhatian kepada cara berpikir atau proses mental anak, tidak sekedar kepada hasilnya. Selain itu, peran siswa sangat diharapkan untuk berinisiatif dan terlibat secara aktif dalam kegiatan belajar. Teori ini juga memaklumi akan adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan per- kembangan. Oleh karena itu guru harus melakukan upaya untuk mengatur aktivitas di dalam kelas yang terdiri dari individu – individu ke dalam bentuk kelompok – kelompok kecil siswa daripada aktivitas dalam bentuk klasikal.
Teori ini juga mengutamakan peran siswa untuk saling berinteraksi. Menurut Piaget, pertukaran gagasan – gagasan tidak dapat dihindari untuk perkembangan penalaran. Walaupun penalaran tidak dapat diajarkan secara langsung, perkembangannya dapat disimulasi.
Implikasi dalam konsep evaluasi bahwa evaluasi dilakukan selama proses belajar bukan hanya semata dinilai dari hasil belajar. Jadi, teori ini menitikberatkan pada proses daripada hasil yang dicapai oleh siswa.
Bagi para penganut aliran kognitifisme, pembelajaran dipandang sebagai upaya memberikan bantuan kepada siswa untuk memperoleh informasi atau pengetahuan baru melalui proses discovery dan internalisasi. Agar discovery dan internalisasi dapat berlangsung secara benar maka perlu diperhatikan beberapa prinsip pembelajaran yang perlu sebagai berikut:
  • Setiap siswa perlu dimotivasi oleh guru agar merasa bahwa belajar merupakan suatu kebutuhan, dan bukan sebaliknya sebagai beban
  • Pembelajaran hendaknya dimulai dari hal-hal yang konkrit ke hal-hal yang abstrak.
  • Setiap usaha mengkonseptualisasikan matari pembelajaran hendaknya diatur sedemikian rupa sehingga memudahkan siswa belajar.
  • Pembelajaran hendaknya dirancang sesuai dengan pengalaman belajar siswa dengan memperhatikan tahap-tahap perkembangannya.
  • Materi pelajaran hendaknya dirancang dengan memperhatikan sequencing penyajian secara logis.
Teori Konstruktivisme
Teori konstruksivisme membawa implikasi dalam pembelajaran yang harus bersifat kolektif atu kelompok. Proses sosial masing-masing siswa harus bisa diwujudkan. C. Asri Budiningsih dalam buku Pembelajaran Moral menyatakan bahwa keberhasilan belajar sangat ditentukan oleh peran social yang ada dalam diri siswa. Dalam situasi sosial akan terjadi situasi saling berhubungan, terdapat tata hubungan, tata tingkah laku dan sikap diantara sesame manusia. Konsekuensinya, siswa harus memiliki keterampilan untuk menyesuaikan diri (adaptasi) secara cepat.
Bagi kaum konstruktivis, mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru kepada siswa, melainkan suatu penciptaan suasana yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi aktif guru bersama-sama siswa dalam membangun pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi. Jadi mengajar adalah belajar itu sendiri. Menurut prinsip konstruktivisme, guru berperan sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar siswa berjalan sebagaimana mestinya. Sebagai fasilitator dan mediator tugas guru dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggung jawab dalam merencanakan aktivitas belajar, proses belajar serta hasil belajar yang diperolehnya. Dengan demikian menjadi jelas bahwa memberi kuliah atau ceramah bukanlah tugas utama guru.
Memberikan sejumlah kegiatan yang dapat merangsang keingintahuan siswa dan mendorong mereka untuk meng-ekspresikan gagasan-gagasannya serta mengkomukasikan-nya secara ilmiah;
b. Menyediakan sarana belajar yang merangsang siswa berpikir secara produktif. Guru hendaknya menciptakan rangsangan belajar melalui penyediaan situasi problematik yang memungkinkan siswa belajar memecahkan masalah
c. Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan tingkat perkembangan berpikir siswa. Guru dapat menunjukkan dan mempertanyakan sejauh mana pengetahuan siswa untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan dengan pengetahuan yang dimilikinya. (Ditulis Oleh Drs.Agustinus Maniyeni, M.Pd – Dalam buku “Wawasan Pembelajaran” halaman 1-15)

Konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan non objektif, bersifat temporer, selalu berubah dan tidak menentu. Belajar adalah penyusunan pengetahuan dari dari pengalaman konkrit, aktifitas kolaboratif dan refleksi dan interpretasi. Seseorang yang belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pengalamannya dan persepektif yang didalam menginterprestasikannya.
Teori ini lebih menekankan pada diri siswa dalam penyusun pengetahuan yang ingin diperoleh oleh siswa tersebut. Teori ini memberikan keaktifan terhadap siswa untuk belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau teknologi, dan hal lain yang diperlakukan guna menggembangkan dirinya sendiri.
Adapun tujuan dari teori ini adalah sebagai berikut:
  1. Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri.
  2. Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan mencari sendiri pertanyaanya.
  3. Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap.
  4. Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.
  5. Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.
    Konsep evaluasi pendidikan hampir sama dengan konsep pada teori kognitivisme yaitu menitikberatkan pada proses. Proses yang dimaksud disini merupakan sebuah pengalaman yang dialami sendiri oleh masing-masing siswa (penyusunan pengetahuan oleh siswa itu sendiri).


  • KONSEP BELAJAR MENURUT PANDANGAN TEORI KOGNITIF



BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang Masalah
Belajar seharusnya menjadi kegiatan yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Belajar merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang paling penting dalam upaya mempertahankan hidup dan mengembangkan diri. Dalam dunia pendidikan belajar merupakan aktivitas pokok dalam penyelenggaraan proses belajar-mengajar. Melalui belajar seseorang dapat memahami sesuatu konsep yang baru, dan atau mengalami perubahan tingkah laku, sikap, dan ketrampilan.
Pada dasarnya terdapat dua pendapat tentang teori belajar yaitu teori belajar aliran behavioristik dan teori belajar kognitif. Teori belajar behavioristik menekankan pada pengertian belajar merupakan perubahan tingkah laku, sehingga hasil belajar adalah sesuatu yang dapat diamati dengan indra manusia langsung tertuangkan dalam tingkah laku. Seperti yang dikemukakan oleh Ahmadi dan Supriono (1991: 121) bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”.
Sedangkan teori belajar kognitif lebih menekankan pada belajar merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal pikiran manusia. Seperti juga diungkapkan oleh Winkel (1996: 53) bahwa “Belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif dan berbekas”.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya belajar adalah suatu proses usaha yang melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, ketrampilan dan nilai sikap yang bersifat relatif dan berbekas.
  1. Rumusan Masalah
    1. Bagaimana konsep belajar menurut pandangan teori kognitif?
    2. Apa peran teori pembelajaran dalam desain pesan pembelajaran?
    3. Bagaimana penerapan teori kognitif dalam pembelajaran?
BAB II
PEMBAHASAN
  1. Konsep Belajar Menurut Pandangan Teori Kognitif
Teori kognitif merupakan salah satu teori yang paling mendasari penggunaanya dalam proses pembelajaran dari pada teori seperti Behavioristik dan Konstruktifistik. Teori kognitif lebih mementingkan proses belajarnya atau proses menuju pemahaman mengenai sesuatu hal. Berbeda jauh dengan teori Behavioristik yang lebih mementingkan hasilnya.
Para pakar teori kognitif seperti Piaget, Bruner, dan Ausubel memberikan makna tersendiri tentang teori kognitif. Menurut Piaget kegiatan belajar terjadi seturut  dengan pola tahap-tahap perkembangan  tertentu dan umur seseorang, serta melalu proses asimilasi, akomodasi dan equilibrasi.
Menurut Piaget setiap anak mengembangkan kemampuan berpikirnya menurut tahap yang teratur. Pada satu tahap perkembangan tertentu akan muncul skema atau struktur tertentu yang keberhasilannya pada setiap tahap amat bergantung pada tahap sebelumnya. Adapun tahapan-tahapan tersebut adalah

1. Tahap Sensori Motor(dari lahir sampai kurang lebih umur 2 tahun)
Dalam dua tahun pertama kehidupan bayi ini, dia dapat sedikit memahami lingkungannya dengan jalan melihat, meraba atau memegang, mengecap, mencium dan menggerakan. Dengan kata lain mereka mengandalkan kemampuan sensorik serta motoriknya. Beberapa kemampuan kognitif yang penting muncul pada saat ini. Anak tersebut mengetahui bahwa perilaku yang tertentu menimbulkan akibat tertentu pula bagi dirinya. Misalnya dengan menendang-nendang dia tahu bahwa selimutnya akan bergeser darinya.

2. Tahap Pra-operasional ( kurang lebih umur 2 tahun hingga 7 tahun)
Dalam tahap ini sangat menonjol sekali kecenderungan anak-anak itu untuk selalu mengandalkan dirinya pada persepsinya mengenai realitas. Dengan adanya perkembangan bahasa dan ingatan anakpun mampu mengingat banyak hal tentang lingkungannya. Intelek anak dibatasi oleh egosentrisnya yaitu ia tidak menyadari orang lain mempunyai pandangan yang berbeda dengannya. (benda padat tenggelam)

3. Tahap Operasi Konkrit (kurang lebih 7 sampai 11 tahun)
Dalam tahap ini anak-anak sudah mengembangkan pikiran logis. Dalam upaya mengerti tentang alam sekelilingnya mereka tidak terlalu menggantungkan diri pada informasi yang datang dari pancaindra. Anak-anak yang sudah mampu berpikir secara operasi konkrit sudah menguasai sebuah pelajaran yang penting yaitu bahwa ciri yang ditangkap oleh pancaindra seperti besar dan bentuk sesuatu, dapat saja berbeda tanpa harus mempengaruhi misalnya kuantitas. Anak-anak sering kali dapat mengikuti logika atau penalaran, tetapi jarang mengetahui bila membuat kesalahan. (tidalk belajar ujiannya jelek)

4. Tahap Operasi Formal (kurang lebih umur 11 tahun sampai 15 tahun)
Selama tahap ini anak sudah mampu berpikir abstrak yaitu berpikir mengenai gagasan. Anak dengan operasi formal ini sudah dapat memikirkan beberapa alternatif pemecahan masalah. Mereka dapat mengembangkan hukum-hukum yang berlaku umum dan pertimbangan ilmiah. Pemikirannya tidak jauh karena selalu terikat kepada hal-hal yang besifat konkrit, mereka dapat membuat hipotesis dan membuat kaidah mengenai hal-hal yang bersifat abstrak. (korupsi tidak sesuai dengan norma-norma dmasyarakat, sosiologi)
Berdasarkan uraian diatas, Piaget membagi tahapan perkembangan kemampuan kognitif anak menjadi empat tahap yang didasarkan pada usia anak tesebut.

Teori belajar menurut Bruner
Bruner, melalui teorinya itu (dalam Suherman E., 2003), mengungkapkan bahwa dalam proses belajar anak sebaiknya diberi kesempatan untuk memanipulasi benda-benda (alat peraga). Melalui alat peraga yang ditelitinya itu, anak akan melihat langsung bagaimana keteraturan dan pola struktur yang terdapat dalam benda yang sedang diperhatikannya itu. Keteraturan tersebut kemudian oleh anak dihubungkan dengan keterangan intuitif yang telah melekat pada dirinya.
Dengan memanipulasi alat-alat peraga, siswa dapat belajar melalui keaktifannya. Sebagaimana  yang dikemukakan oleh Bruner (dalam Suwarsono, 2002;25), belajar merupakan suatu proses aktif yang memungkinkan manusia untuk menemukan hal-hal baru di luar (melebihi) informasi yang diberikan pada dirinya. Sebagai contoh, seorang siswa yang mempelajari bilangan prima akan bisa menemukan berbagai hal yang penting dan menarik tentang bilangan prima, sekalipun pada awal mula guru hanya memberikan sedikit informasi tentang bilangan prima kepada siswa tersebut. Teori  Bruner  tentang kegiatan manusia tidak terkait dengan umur atau tahap perkembangan (berbeda dengan  Teori Piaget). Ada dua bagian yang penting  dari teori Bruner (dalam Suwarsono, 2002;25), yaitu :
  1. Tahap-Tahap Dalam Proses Belajar
  2. Teorema-teorema Tentang Cara Belajar dan Mengajar Matematika
  3.  
Penjelasan tentang kedua bagian tersebut adalah sebagai berikut:

Tahap-Tahap Dalam Proses Belajar
Menurut Bruner, jika seseorang mempelajari suatu pengetahuan (Misalnya mempelajari suatu konsep Matematika), pengetahuan itu perlu dipelajari  dalam tahap-tahap tertentu, agar pengetahuan itu dapat diinternalisasi dalam pikiran (struktur kognitif) orang tersebut.  Proses internalisasi akan terjadi secara sungguh-sungguh (yang berarti proses belajar  terjadi secara optimal) jika pengetahuan  yang dipelajari itu dipelajari dalam tiga tahap, yang macamnya dan urutannya adalah sebagai berikut (dalam Suwarsono,2002;26) :
  1. Tahap enaktif, yaitu  suatu tahap pembelajaran  sesuatu pengetahuan  di mana pengetahuan itu dipelajari secara aktif, dengan menggunakan benda-benda kongkret atau menggunakan situasi yang nyata.
  2. Tahap Ikonik, yaitu suatu tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan di mana pegetahuan itu direpresentasikan (diwujudkan) dalam bentuk bayangan visual (visual imagery), gambar, atau diagram, yang menggambarkan kegiatan konkret atau situasi konkret yang terdapat pada tahap enaktif tersebut di atas.
  3. Tahap simbolik, yaitu suatu tahap pembelajaran di mana pengetahuan itu direpresentasikan dalam bentuk simbol-simbol abstrak (Abstract symbols yaitu simbol-simbol arbiter yang dipakai berdasarkan kesepakatan orang-orang dalam bidang yang bersangkutan), baik simbol-simbol verbal (Misalnya huruf-huruf, kata-kata, kalimat-kalimat) lambang-lambang matematika, maupun lambang-lambang abstrak lainnya.
Menurut Bruner, proses belajar akan berlangsung secara optimal jika proses pembelajaran diawali dengan tahap enaktif, dan kemudian jika tahap belajar yang pertama ini telah dirasa cukup, siswa beralih ke kegiatan belajar tahap kedua, yaitu tahap belajar dengan menggunakan modus representasi ikonik, dan selanjutnya, kegiatan belajar itu diteruskan dengan kegiatan belajar tahap ketiga yaitu tahap belajar dengan menggunakan modus representasi simbolik. Sebagai contoh, dalam mempelajari penjumlahan dua bilangan cacah, pembelajaran akan terjadi secara optimal jika mula-mula  siswa mempelajari  hal itu dengan menggunakan benda-benda konkret (Misalnya menggabungkan 3 kelereng dengan 2 kelereng dan kemudian menghitung banyaknya kelereng semuanya). Kemudian kegiatan belajar digunakan dengan menggunakan gambar atau diagram yang mewakili 3 kelereng dan 2 kelereng yang digabungkan tersebut (dan kemudian dihitung banyaknya kelereng semuanya, dengan menggunakan gambar atau diagram tersebut). Pada tahap yang kedua ini bisa juga siswa melakukan penjumlahan itu dengan menggunakan pembayangan visual (visual imagery) dari kelereng-kelereng tersebut. Pada tahap berikutnya, siswa melakukan penjumlahan  kedua bilangan itu dengan menggunakan lambang-lambang bilangan yaitu  3 + 2 = 5 (dalam Suwarsono,2002;27) .
Di SLTP, dalam mempelajari irisan dua himpunan, siswa dapat mempelajari konsep tersebut dengan mula-mula menggunakan contoh nyata (konkret, misalnya dengan mengumpulkan data tentang siswa-siswa yang pergi ke sekolah dengan naik sepeda dan siswa-siswa yang menyukai olahraga basket (sebagai contoh), dan kemudian menentukan siswa-siswa yang pergi ke sekolah dengan naik sepeda dan menyukai  olahraga basket. Keadaan itu kemudian digambarkan dengan diagram venn. Selanjutnya, irisan dua himpunan dapat didefinisikan secara simbolik (dengan lambang-lambang), baik dengan lambang-lambang verbal (kata-kata, kalimat-kalimat) maupun dengan lambang-lambang matematika (Dalam hal ini notasi pembentuk himpunan) (dalam  Suwarsono,2002;25).

Teori belajar  menurut ausubel
Teori pembelajaran Ausubel merupakan salah satu dari sekian banyaknya teori pembelajaran yang menjadi dasar dalam cooperative learning. David Ausubel adalah seorang ahli psikologi pendidikan. Menurut Ausubel bahan subjek yang dipelajari siswa mestilah “bermakna” (meaningfull). Pembelajaran bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Struktur kognitif ialah fakta-fakta, konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat siswa.
Pembelajaran bermakna adalah suatu proses pembelajaran di mana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dimiliki seseorang yang sedang melalui pembelajaran.
Pembelajaran bermakna terjadi apabila siswa boleh menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka. Artinya, bahan subjek itu mesti sesuai dengan keterampilan siswa dan mesti relevan dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa. Oleh karena itu, subjek mesti dikaitkan dengan konsep-konsep yang sudah dimiliki para siswa, sehingga konsep-konsep baru tersebut benar-benar terserap olehnya. Dengan demikian, faktor intelektual-emosional siswa terlibat dalam kegiatan pembelajaran.

Cara Pembelajaran Bermakna dengan Menggunakan Peta Konsep :
1. Pilih suatu bacaan dari buku pelajaran
2. Tentukan konsep-konsep yang relevan
3. Urutkan konsep-konsep dari yang paling inklusif ke yang paling tidak inklusif atau contoh-contoh.
4. Susun konsep-konsep tersebut di atas kertas mulai dari konsep yang paling inklusif di puncak konsep ke konsep yang tidak inklusif di bawah.
5. Hubungkan konsep-konsep ini dengan kata-kata penghubung sehingga menjadi sebuah peta konsep.

Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel adalah struktur kognitif yang ada, stabilitas, dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu. Sifat-sifat struktur kognitif menentukan validitas dan kejelasan arti-arti yang timbul waktu informasi baru masuk ke dalam struktur kognitif itu; demikian pula sifat proses interaksi yang terjadi. Jika struktur kognitif itu stabil, dan diatur dengan baik, maka arti-arti yang sahih dan jelas atau tidak meragukan akan timbul dan cenderung bertahan. Tetapi sebaliknya jika struktur kognitif itu tidak stabil, meragukan, dan tidak teratur, maka struktur kognitif itu cenderung menghambat relajar.
Menurut Ausubel, seseorang belajar dengan mengasosiasikan fenomena baru ke dalam sekema yang telah ia punya. Dalam proses itu seseorang dapat memperkembangkan skema yang ada atau dapat mengubahnya. Dalam proses belajar ini siswa mengonstruksi apa yang ia pelajari sendiri.
Teori Belajar bermakna Ausuble ini sangat dekat dengan Konstruktivesme. Keduanya menekankan pentingnya pelajar mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru kedalam sistem pengertian yang telah dipunyai. Keduanya menekankan pentingnya asimilasi pengalaman baru kedalam konsep atau pengertian yang sudah dipunyai siswa. Keduanya mengandaikan bahwa dalam proses belajar itu siswa aktif.

Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi kognitif siswa melalui proses belajar yang bermakna. Sama seperti Bruner dan Gagne, Ausubel beranggapan bahwa aktivitas belajar siswa, terutama mereka yang berada di tingkat pendidikan dasar- akan bermanfaat kalau mereka banyak dilibatkan dalam kegiatan langsung. Namun untuk siswa pada tingkat pendidikan lebih tinggi, maka kegiatan langsung akan menyita banyak waktu. Untuk mereka, menurut Ausubel, lebih efektif kalau guru menggunakan penjelasan, peta konsep, demonstrasi, diagram, dan ilustrasi.
Inti dari teori belajar bermakna Ausubel adalah proses belajar akan mendatangkan hasil atau bermakna kalau guru dalam menyajikan materi pelajaran yang baru dapat menghubungkannya dengan konsep yang relevan yang sudah ada dalam struktur kognisi siswa.
Langkah-langkah yang biasanya dilakukan guru untuk menerapkan belajar bermakna Ausubel adalah sebagai berikut: Advance organizer, Progressive differensial, integrative reconciliation, dan consolidation.

Empat type belajar menurut Ausubel , yaitu:

1. Belajar dengan penemuan yang bermakna yaitu mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan materi pelajaran yang dipelajari itu. Atau sebaliknya, siswa terlebih dahulu menemukan pengetahuannya dari apa yang ia pelajari kemudian pengetahuan baru tersebut ia kaitkan dengan pengetahuan yang sudah ada. (langsung berhadapan dengan bendanya, konkret, siswa langsung menemukan maksud dalam pembelajaran)

2. Belajar dengan penemuan yang tidak bermakna yaitu pelajaran yang dipelajari ditemukan sendiri oleh siswa tanpa mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya, kemudian dia hafalkan.

3. Belajar menerima (ekspositori) yang bermakna yaitu materi pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir, kemudian pengetahuan yang baru ia peroleh itu dikaitkan dengan pengetahuan lain yang telah dimiliki.

4. Belajar menerima (ekspositori) yang tidak bermakna yaitu materi pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir , kemudian pengetahuan yang baru ia peroleh itu dihafalkan tanpa mengaitkannya dengan pengetahuan lain yang telah ia miliki.
Asumsi yang mendasari teori kognitif dalam mendesain pesan pembelajaran
Penerapan teori kognitif berdasarkan pada tiga gagasan sangat mapan dalam ilmu kognitif yakni : asumsi saluran ganda, asumsi kapasitas-terbatas, dan asumsi pemrosesan aktif.
Menurut kriteria intelligibility, lingkungan desain multimedia harus cocok dengan tata cara manusia belajar. Pendeknya, prinsip-prisnsip desain multimedia harus sensitif terhadap sesuatu yang kita ketahui tentang cara orang memproses informasi.
Apa peran teori pembelajaran dalam desain pesan pembelajaran? Keputusan-keputusan tentang cara mendesain pesan pembelajaran selalu mencerminkan konsepsi dasar tentang cara orang belajar, bahkan saat teori pembelajaran yang menjadi dasar itu tidak dinyatakan. Mendesain pesan- pesan pembelajaran itu selalu diatur oleh konsepsi desainernya tentang cara otak manusia bekerja. Misalnya, saat suatu presentasi multimedia terdiri atas satu layar namun dipenuhi oleh banyak kata multiwarna dan gambar yang gemerlapan serta selalu bergerak, maka pilihan itu itu mencerminkan konsepsi desainernya tentang pembelajran manusia. Kalau kasusnya seperti itu, kemungkinan besar konsepsi dasar dari sang desainer adalah manusia memiliki sistem pemrosesan aktif-pasif, single-channel, dan berkapasitas tanpa batas. Lalu, apa yang terjadi dengan konsepsi diatas? Pertama-tama, desain seperti ini tidak memanfaatkan mode-mode presentasi auditori, dan didasarkan pada asumsi single-channel – bahwa semua informasi memasuki sistem kognitif dalam cara-cara yang sama tanpa memedulikan modalitasnya. Desain itu tidak memedulikan modalitas mana – misalnya menyajikan kata-kata sebagai teks atau suara – yang digunkan untuk menyajikan informasi. Pokonya: informasi bisa disajikan tak peduli dengan bagaimanapun caranya. Kedua, dengan menyajikan sebegitu banyak informasi, desain ini didasarkan pada asumsi kapasitas tanpa batas – yakni, manusia bisa menampung jumlah materi yang tanpa batas. Tugas desainer adalah sekedar menyampaikan informasi sebanyak banyaknya pada murid. Ketiga, dengan menyajikan banyak kepingan informasi yang masih saling terisolasi, maka desain seperti ini didasarkan pada asumsi pemrosesan pasif – yakni, manusia bertindak sebagai tape recorder yang bisa menambhakan informasi sebanyak mungkin ke dalam memori mereka. Pihak-pihak yang belajar tidak perlu bimbingan dalam menata dan menalar informasi yang disajikan itu.

Apa yang keliru dengan visi murid sebagai pihak yang memiliki sistem single pannel,  kapasitas tak terbatas, dan pemrosesan pasif? Riset baru-baru ini dalam psikologi kognitif memberikan pandangan yang agak berbeda tentang cara otak manusia bekerja (Bransford, Brown, & Cocking, 1999; Lambert & McCombs, 1998). Jadi, masalah dengan konsepsi pembelajaran yang awam ini adalah bertentangan dengan apa yang diktahui tentang tata cara orang belajar.

Figur 1.1. tiga asumsi bagi teori kognitif tentang desain pesan pembelajaran atau multimedia learning

Dalam bab ini, dibahas tiga asumsi yang mendasari teori kogitif tentang multimedia learning, yakni: dual-channel (saluran ganda), limited-capacity (kapasitas terbatas), dan active-processing (pemrosesan-aktif). Asumsi-asumsi dirangkum dalam figur 1.1

Asumsi Deskripsi Kutipan terkait
Saluran-ganda Menusia memiliki saluran terpisah untuk memproses informasi visual dan informasi auditori Paivio, 1968; Baddeley, 1992
Kapasitas-terbatas Manusia punya keterbatasan dalam jumlah informasi yang bisa mereka proses dalam masing-masing saluran pada waktu yang sama Baddeley, 1992;Chandler & Sweller, 1991
Pemrosesan-aktif Manusia melakukan pembelajaran aktif dengan memilih informasi masuk yang relevan, mengorganisasikan informasi-informasi itu ke dalam representasi mental yang koheren, dan memadukan representasi mental itu dengan pengetahuan lain Mayer, 1999; Wittrock, 1989

Oleh karena karya sentral multimedia learning berlangsung dalam memori kerja atau working memory, jadi mari kita fokus disana. Memori kerja digunakan untuk penyimpanan sementara dan memanipulasi pengetahuan dalam kesadaran pikiran aktif. Sebagai contoh, dalam membaca kalimat ini, Anda bisa bisa secara aktif berkonsentrasi ke beberapa kata tertentu dalam suatu waktu. Dalam melihat figur 1.2., otak anda mungkin bisa menyimpan image (citra) hanya beberapa kotak dan panah dalam sekali waktu. Jenis pemrosesan ini – Anda melakukannya di alam pikiran sadar – terjadi dalam memori kerja Anda. Sisi kiri kotak berlabel Memori Kerja dalam figur 1.2. mewakili materi mentah yang masuk ke dalam memori kerja; yakni citra visual berupa gambar dan citra suara berupa kata-kata. Hal ini didasarkan pada modalitas indrawi yang biasa disebut sebagai visual dan auditori. Sisi kanan kotak Memori Kerja mewakili pengetahuan yang sudah terkonstruksi di dalam memori kerja – model-model mental verbal dan visual serta keterkaitan diantara mereka. Jadi, ha itu juga didasarkan pada dua mode representasi yang disebut verbal dan pictorial. Tanda panah dari Suara ke Citra mewakili konversi mental dari suara (misalnya, kata-kata “kucing” yang terucapkan) menjadi citra visual (misalnya, citra tentang “kucing”) – yakni saat anda mendengar suara yang berlafal “kucing” maka anda mungkin membentuk gambaran mental tentang kucing. Tanda panah dari Citra ke Suara mewakili konvensi mental atas citra visual (misalnya, gambaran mental tentang kucing) menjadi citra suara (misalnya, bunyi dari kata “kucing”) – yakni, anda mungkin secara mental mendengar kata “kucing” dibunyikan saat anda melihat gambar kucing. Proses ini bisa terjadi dengan asosiasi mental dengan kata-kata “kucing” yang terucapkan bisa memunculkan gambaran mental tentang wujud kucing dan sebaliknya. Pemrosesan kognitif utama yang dipersyaratkan untuk multimedia learning adalah direpresentasikan oleh panah-panah yang berlabel Memilih Citra, Memilih Kata, Menata Citra, Menata Kata, dan Memadukan, yang digambarkan di bagian berikutnya.
Akhirnya, kotak diujung kanan diberi label Memori Jangka Panjang dan saling terkait dengan gudang pengetahuan si murid. Tidak seperti Memori Kerja, memori jangka panjang ini bisa menampung sangat banyak pengetahuan dalam periode yang lama. Namun demikian untuk orang yang secara aktif berpikir tentang materi dalam memori jangka panjang, ia harus dibawa dulu ke memori kerja (seperti diindikasikan lewat tanda panah dari Memori Jangka Panjang ke Memori Kerja).

Sejalan dengan asumsi saluran ganda, Memori Sensori dan Memori Kerja dibagi menjadi dua saluran; Ynag bagian atas menangani suara-suara auditori dan akhirnya representasi verbal. Yang di bagian bawah menangani citra visual dan akhirnya ke representasi pictorial. Dalam acara ini, saya mencoba mengompromikan antara pandangan modalitas sensori/indrawi (yang digunakan untuk menciptakan dua saluran di sisi kiri memori kerja) dan pandangan mode presentasi (yang digunakan untuk menciptakan dua saluran di sisi kanan Memori Kerja).
Sejalan dengan asumsi kapasitas terbatas, memori kerja memang terbatas dalam proses jumlah pengetahuan dalam suatu waktu tertentu. Jadi, hanya sejumlah citra yang bisa ditampung di saluran visual dalam memori kerja pada suatu waktu. Hanya sejumlah kecil suara yang bisa ditampung di saluran auditori dalam memori kerja pada suatu waktu.

Sejalan dengan asumsi pemrosesan aktif, ditambahkan panah-panah untuk menggambarkan proses kognitif memilih pengetahuan yang akan di proses dalam memori kerja (yakni, panah berlabel “memilih” yang bergerak dari materi tersaji ke Memori Kerja), menata materi dalam memori kerja agar menjadi struktur yang koheren (yakni, panah berlabel “menata” yang bergerak dari salah satu bentuk representasi lainnya), dan memadukan pengetahuan yang tercipta ini dengan pengetahuan lainnya termasuk pengetahuan yang diambil dari memori jangka panjang (yakni, panah yang berlabel “memadukan” yang bergerak dari Memori Jangka Panjang ke Memori Kerja serta antara representasi visual dan representasi auditori dalam Memori Kerja).

Figur 1.2. Teori kognitif tentang multimedia pembelajaran
Figur 1.3. Saluran Auditori dan Saluran Visual

Asumsi Saluran-ganda
Asumsi saluran-ganda (dual-channel assumption) beranggapan bahwa manusia memiliki saluran terpisah bagi pemrosesan informasi untuk materi visual dan materi auditori. Asumsi saluran-ganda ini dirangkum dalam Figur 1.3 oleh karena dua saluran, figur ini juga dibagi  dua. Figur 1.3 A menunjukan saluran verbal auditori. Figur 1.3 B menunjukan saluran visual pictorial. Manusia memahami suatu informasi yang didapat melalui citra auditori dan citra pictorial. Pemahaman yang diproses melalui kedua saluran tersebut dan mempresentasikan serta menyimpannya dalam memori jangka panjang.

Asumsi Kapasitas-terbatas
Manusia bukan mesin atan super komputer, semua inforamasi yang diperoleh akan diolah, dipadukan, dan diintegrasikan dengan kapasitas otak.  Semua informasi yang masuk tidak bisa diolah dan disimpan secara langsung ke otak. Beberapa dari informasi akan diolah menjadi sesuatu yang padu dan dapat dipahami.

Asumsi Pemrosesan aktif
Manusia secara aktif melibatkan dirinya dalam pemrosesan aktif untuk mengkonsstruksi representasi mental yang saling terkait terhadap pengalaman mereka.  Proses kogitif aktif ini meliputi: memberikan perhatian, menata informasi yang masuk dengan pengetahuan lainnya. Pendeknya, manusia adalah prosesor aktif yang menalar dan memasukakalkan setiap informasi yang ada. Manusia bukan prosesor pasif yang hanya menerima merekam sesuatu dan menyimapnnya di memori dan dapat diputar olah kapan saja.
  1. Penerapan teori kognitif dalam dessain pesan pembelajaran
Penerapan sesungguhnya ada dalam proses belajar, baik proses belajar dalam kelas ataupun diluar. Terpenting dalam penerapan teori kognitif ini dapat bermakna dan munuju pemahaman sesuai kemampuan individu dalam rentang waktu yang berbeda. Kegiatan pembelajarannya mengikuti prinsip-prisip sebagai berikut :
  1. Siswa bukan sebagai orang dewasa yang mudah dalam proses berpikirnya. Mereka mengalami perkembangan kognitif melalui tahap-tahap tertentu.
  2. Anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar akan dapat belajar dengan baik, terutama jika menggunakan benda-benda konkrit. Benda nyata sebagai objek belajarnya sehingga memudahkan menuju pemahaman. Misalnya mengenalkan tumbuhan juga sebagai mahluk hidup, diharapan siswa dapat melihat wujud tumbuhan didepannya. Tentunya belajar bukan hanya dalam kelas. Siswa bisa belajar diluar dengan bimbingan guru yang mengajar.
  3. Keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar amat dipentingkan karena hanya dengan mengaktifkan siswa maka proses asimilasi dan akomodasi pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi dengan baik.
  4. Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu mengaitkan pemahaman atau informasi baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki siswa.
  5. Pemahan dan retensi akan meningkat jika materi pelajaran disusun dengan menggunakan pola atau logika tertentu, dari sederhana ke kompleks.
  6. Pemahaman dan retensi siswa akan lebih bermakna dari pada belajar menghafal. Agar bermakna informasi yang ada harus disesuaikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa, tugas guru adalah menunjukan hubungan antara apa yang sedang dipelajari dengan apa yang telah diketahui siswa.
  7. Adanya perbedaan individual pada diri siswa perlu diperhatikan, karena faktor ini sangat mempengaruhi proses dan keberhasilan belajar siswa. Perbedaan tersebut misalnya motivasi, persepsi, kemampuan berfikir, pengetahuan awal, dan sebagainya.
Hakikat belajar menurut teori kognitif yaitu aktifitas belajar yang berkaitan dengan ppenataan informasi, reorganisasi percetual, dan proses internal.
Langkah-langkah pembelajaran yang dikemukakan oleh tokoh bersangkutan yaitu sebagai berikut :
  1. Langkah-langkah pembelajaran menurut Piaget
    1. Menentukan tujuan pembelajaran
    2. Memeilih materi pelajaran
    3. Menentukan topik yang dapat dipelajari oleh siswa secara aktif
    4. Menentukan kegiatan belajar yang sesuai untuk topik-topik tersebut, misalnya penelitian, memecahkan masalah, diskusi, simulasi dan sebagainya.
    5. Mengembangkan metode pembelajaran untuk merangsang kreatifitas dan cara berfikir siswa.
    6. Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa.
    7. Langkah-langkah pembelajaran menurut Bruner:
      1. Menentukan tujuan pembelajaran.
      2. Melakukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal, minat, gaya belajar).
      3. Memilih materi pelajaran.
      4. Menentukan topik-topik yang dapat dipelajari siswa secara induktif.
      5. Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh, ilustrasi, tugas, dan sebagainya untuk dipelajari siswa.
      6. Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari yang konkret ke abstrak, atau dari tahap enaktif, ikonik, sampai simbolik.
      7. Melukan penilaian proses dan hasil belajar.
      8. Langkah-langkah  pembelajaran menurut Ausubel :
        1. Menentukan tujuan pembeajaran
        2. Melakukan identifikasi karakteristik siswa
        3. Memilih materi pelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa dan mengaturnya dalam bentuk konsep-konsep.
        4. Menentukan topik-topik dan menampillkannya dalam bentuk advance orgainizer yang akan dipelajari siswa.
        5. Mempelajari konsep-konsep inti tersebut, dan menarapakannya dalam bentuk nyata atau konkret.
        6. Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa.
BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
Diantara para pakar kognitif terdapat 3 pakar terkenal yaitu Piaget, Bruner dan Ausubel. Ketiga tokoh aliran kognitif diatas secara umum memiliki pandangan yang sama yaitu mementingkan keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar.
Menurut piaget kegiatan belajar terjadi sesuai dengan pola tahap-tahap perkembangan tertentu dan umur seseorang, serta melalui proses asimililasi, akomodasi dan equilibrasi.
Bruner mengatakan bahwa belajar terjadi lebih ditentukan oleh cara seseorang mengatur pesan atau informasi, dan bukan ditentukan oleh umur. Proses belajar akan terjadi melalui tahap-tahap enaktif, ikonik, dan simbolik.
Sementara itu ausubel mengatakan bahwa proses belajar terjadi jika seseorang mampu mengasimilasikan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan pengetahuan baru. Proses ini akan terjadi melaluui tahap-tahap memperhatikan stimulus, memahami makna stimulus, menyimpan dan menggunakan informasi yang sudah dipahami.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Muhammad Zainal. Teori Belajar Bruner. 2010.     http://www.masbied.com/2010/03/20/teori-belajar-bruner/ 22 Februari 2012
Budiningsih, C. Asri. 2004. Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Rineka Cipta
Mardhiyanti. 2010. Teori Belajar dari David P http://mardhiyanti.blogspot.com/2010/03/teori-belajar-bermakna-dari-david-p.html  22 Februari 2012
Richard E. Mayer. 2009. Multimedia Learning Prinsip-prinsip dan Aplikasi. Tiga Asumsi Teori Kognitif Multimedia Learning hal. 63-71. Yogyakarta : Pustaka Pelajar






Teori belajar Gestalt (Gestalt Theory) ini lahir di Jerman tahun 1912 dipelopori dan dikembangkan oleh Max Wertheimer (1880 – 1943) yang meneliti tentang pengamatan dan problem solving, dari pengamatannya ia menyesalkan penggunaan metode menghafal di sekolah, dan menghendaki agar murid belajar dengan pengertian bukan hafalan akademis. Sumbangannya ini diikuti tokoh-tokoh lainnya, seperti Wolfgang Kohler (1887 – 1959) yang meneliti tentang “insight” pada simpanse yaitu mengenai mentalitas simpanse (ape) di pulau Canary. Kurt Koffka (1886 – 1941) yang menguraikan secara terperinci tentang hukum-hukum pengamatan, dan Kurt Lewin (1892 – 1947) yang mengembangkan suatu teori belajar (cognitif field) dengan menaruh perhatian kepada kepribadian dan psikologi sosial. Penelitian – penelitian mereka menumbuhkan psikologi Gestalt yang menekankan bahasan pada masalah konfigurasi, struktur, dan pemetaan dalam pengalaman.

Istilah ‘Gestalt’ sendiri merupakan istilah bahasa Jerman yang sukar dicari terjemahannya dalam bahasa-bahasa lain. Arti Gestalt bisa bermacam-macam sekali, yaitu ‘form’, ‘shape’ (dalam bahasa Inggris) atau bentuk, hal, peristiwa, hakikat, esensi, totalitas. Terjemahannya dalam bahasa Inggris pun bermacam-macam antara lain ‘shape psychology’, ‘configurationism’, ‘whole psychology’ dan sebagainya. Karena adanya kesimpangsiuran dalam penerjemahannya, akhirnya para sarjana di seluruh dunia sepakat untuk menggunakan istilah ‘Gestalt’ tanpa menerjemahkan kedalam bahasa lain.
Bagi para ahli pengikut Gestalt, perkembangan itu adalah proses diferensiasi. Dalam proses diferensiasi itu yang primer adalah keseluruhan, sedangkan bagian-bagian adalah sekunder; bagian-bagian hanya mempunyai arti sebagai bagian daripada keseluruhan dalam hubungan fungsional dengan bagian-bagian yang lainnya; keseluruhan ada terlebih dahulu baru disusul oleh bagian-bagiannya. Bila kita bertemu dengan seorang teman misalnya, dari kejauhan yang kita saksikan terlebih dahulu bukanlah bajunya yang baru atau pulpennya yang bagus, atau dahinya yang terluka, melainkan justru teman kita itu sebagai keseluruhan, sebagai Gestalt; baru kemudian menuyusul kita saksikan adanya hal-hal khusus tertentu seperti bajunya yang baru, pulpennya yang bagus, dahinya yang terluka, dan sebagainya.
Suatu konsep yang penting dalam psikologi Gestalt adalah tentang “insight” yaitu pengamatan dan pemahaman mendadak terhadap hubungan-hubungan antar bagian-bagian dalam suatu situasi permasalahan. Dalam pelaksanaan pembelajaran dengan teori Gestalt, guru tidak memberikan potongan-potongan atau bagian-bagian bahan ajaran, tetapi selalu satu kesatuan yang utuh. Guru memberikan suatu kesatuan situasi atau bahan yang mengandung persoalan-persoalan, dimana anak harus berusaha menemukan hubungan antar bagian, memperoleh insight agar ia dapat memahamii keseluruhan situasi atau bahan ajaran tersebut. “insight” itu sering dihubungkan dengan pernyataan spontan seperti “aha” atau “oh, see now”. Menurut teori Gestalt ini pengamatan manusia pada awalnya bersifat global terhadap objek-objek yang dilihat, karena itu belajar harus dimulai dari keseluruhan, baru kemudian berproses kepada bagian-bagian. Pengamatan artinya proses menerima, menafsirkan, dan memberi arti rangsangan yang masuk melalui indera-indera seperti mata dan telinga.
Hukum pengamatan menurut teori Gestalt meliputi :
1. Hukum Keterdekatan, artinya yang terdekat merupakan Gestalt.
2. Hukum Ketertutupan, artinya yang tertutup merupakan Gestalt.
3. Hukum Kesamaan, artinya yang sama merupakan Gestalt.
Suatu hukum yang terkenal dari teori Gestalt yaitu hukum Pragnanz, yang kurang lebih berarti teratur, seimbang, simetri, dan harmonis. Untuk menemukan Pragnanz diperlukan adanya pemahaman atau insight, menurut Ernest hilgard ada enam ciri dari belajar pemahamn ini yaitu :
1. Pemahaman dipengaruhi oleh kemampuan dasar.
2. Pemahaman dipengaruhi oleh pengalaman belajar yang lalu yang relevan.
3. Pemahaman tergantung kepada pengaturan situasi, sebab insight itu hanya mungkin terjadi apabila situasi belajar itu diatur sedemikian rupa sehingga segala aspek yang perlu dapat diamati.
4. Pemahaman didahului oleh usaha coba-coba, sebab insight bukanlah hal yang dapat jatuh dari langit dengan sendirinya, melainkan adalah hal yang harus dicari.
5. Belajar dengan pemahaman dapat diulangi, jika sesuatu problem yang telah dipecahkan dengan insight lain kali diberikan lagi kepada pelajar yang bersangkutan, maka dia dengan langsung dapat memecahkan problem itu lagi.
6. Suatu pemahaman dapat diaplikasikan atau dipergunakan bagi pemahaman situasi lain.

Aplikasi teori Gestalt dalam proses pembelajaran antara lain :
1. Pengalaman tilikan (insight); bahwa tilikan memegang peranan yang penting dalam perilaku. Dalam proses pembelajaran, hendaknya peserta didik memiliki kemampuan tilikan yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu obyek atau peristiwa.
2. Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning); kebermaknaan unsur-unsur yang terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu unsur akan makin efektif sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam kegiatan pemecahan masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan pengembangan alternatif pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki makna yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya.
3. Perilaku bertujuan (pusposive behavior); bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan sebagai arah aktivitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami tujuannya.
4. Prinsip ruang hidup (life space); bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan dengan lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan peserta didik.
5. Transfer dalam Belajar; yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran tertentu ke situasi lain. Menurut pandangan Gestalt, transfer belajar terjadi dengan jalan melepaskan pengertian obyek dari suatu konfigurasi dalam situasi tertentu untuk kemudian menempatkan dalam situasi konfigurasi lain dalam tata-susunan yang tepat. Judd menekankan pentingnya penangkapan prinsip-prinsip pokok yang luas dalam pembelajaran dan kemudian menyusun ketentuan-ketentuan umum (generalisasi). Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan dalam memecahkan masalah dalam situasi lain. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat membantu peserta didik untuk menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi yang diajarkannya.

References :
Marada. 2008. Belajar Psikologi Gestalt dan Implikasinya di dalam Belajar dan pembelajaran. (online) Tersedia : http://maradagv.multiply.com/journal/item/32 Diakses 17 Maret 2010.

Riyanto, Bambang. 2008. Teori Belajar Gestalat. (online) Tersedia: http://bambangriyantomath.wordpress.com/2009/05/29/teori-belajar-gestalt/. Diakses 17 Maret 2010.

Sagala, Syaiful. 2010. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung : Alfabeta.

Sudrajat, Akhmad. 2008. Teori-Teori Belajar. (online) Tersedia : http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/02/teori-teori-belajar/. Diakses 17 Maret 2010

pengertian belajar menurut asosiasi


PENDAHULUAN

Dari beragam pengertian tentang pendidikan, pendidikan dapat juga dipandang sebagai proses mereproduksi dan mengelaborasi sistim nilai dan budaya ke arah yang lebih baik, antara lain dalam hal pembentukan wawasan, kepribadian, keterampilan dan kematangan intelektual peserta didik. Dalam lembaga formal proses reproduksi sistim nilai dan budaya ini dilakukan terutama dengan mediasi proses belajar mengajar sejumlah mata pelajaran dalam kelas.


Melalui berbagai strategi pembelajaran dan pengembangan potensi diri, peserta didik memperoleh bekal pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperlukan untuk memahami dan menyesuaikan diri terhadap fenomena dan perubahan-perubahan di lingkungan sekitar dirinya, disamping memenuhi keperluan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Pembelajaran dan pengembangan potensi ini merupakan salah satu kunci keberhasilan peningkatan kompetensi sumber daya manusia dalam memasuki dunia teknologi, termasuk teknologi informasi pada era globalisasi.
Pembelajaran, baik dalam konteks pendidikan di sekolah maupun pendidikan luar sekolah, pada jenjang dan dengan menggunakan pendekatan, strategi serta model apa pun harus benar-benar efektif. Pembelajaran yang efektif dicirikan antara lain oleh tingginya kemampuan pembelajaran tersebut dalam menyajikan secara optimal tiga dimensi pembelajaran sebagai proses, produk dan sikap. Dimensi proses pembelajaran menuntut guru untuk melibatkan peserta didik secara aktif kedalam kegiatan-kegiatan dalam upaya memperoleh hasil belajar. Kegiatan ini sering kali berhubungan metode ilmiah (Scienctific Method) dan keterampilan proses. Dimensi produk pendidikan sains berhubungan dengan sejumlah fakta, data, konsep, hukum, atau teori dan sejumlah keterampilan yang harus dikuasai peserta didik sebagaimana tertuang dalam kurikulum atau silabus pembelajaran. Dimensi sikap merupakan hasil internalisasi dari akumulasi pengetahuan dan pengalaman peserta didik dalam mengikuti proses pembelajaran. Dalam penjelasan sederhana, dimensi sikap adalah cara pandang dan tindakan peserta didik terhadap sesuatu yang dilandasi oleh wawasan dan pengalaman yang diperolehnya dalam pembelajaran. Dimensi sikap ini sering disebut sebagai sikap ilmiah (Scientific Attitude) dan moralitas.
Pembelajaran yang efektif juga dicirikan oleh tingginya kadar on-task (aktivitas edukatif) dan rendahnya kadar off-task (aktivitas non-edukatif) peserta didik dalam pembelajaran. Menurut Horsley (1990:42) salah satu upaya untuk meningkatkan kadar on-task peserta didik adalah dengan mengembangkan kegiatan hands-on (psikomotor) dan minds-on (kognitif-afektif) melalui sejumlah keterampilan (skill) yang dilakukan peserta didik dalam kelas. Menurutnya ada empat jenis keterampilan: keterampilan laboratorium (laboratory skills), keterampilan intelektual (intellectual skills), keterampilan berpikir dasar (generic thinking skills) dan keterampilan berkomunikasi (communications skills).
Dalam menyelenggarakan pembelajaran dengan pendekatan dan model apa pun guru harus tetap pro aktif sebagai fasilitator; mau memonitor seberapa besar kadar on-task peserta didik, seberapa banyak keterampilan dan sikap ilmiah peserta didik yang dapat dikembangkan, dan sejauh mana materi pembelajaran dikuasai peserta didik.
Untuk dapat menyelenggarakan pembelajaran yang efektif salah satu faktor yang turut berpengaruh adalah ketepatan guru dalam memilih pendekatan dan model pembelajaran yang digunakan. Pemilihan model ini dapat didasarkan pada pertimbangan karakteristik materi pembelajaran, dasar filsafat dan psikologi tentang peserta didik, tujuan dan kebutuhan praktis serta tipe kegiatan belajar yang ditetapkan. Berkenaan dengan tipe kegiatan belajar, masing-masing tipe menunjukkan tingkatan pengorganisasian mulai dari sangat mekanistis (seperti Signal Learning, Stimulus Response Learning, Chaining Learning) hingga kegiatan belajar yang lebih bersifat organik (misalnya Multiple Discrimination Learning, Concept Learning, Principle Learning, dan Problem-solving). Klasifikasi lain yang lebih sederhana tentang tipe kegiatan belajar adalah: tipe kegiatan belajar mengajar keterampilan, tipe kegitan belajar pengetahuan, tipe kegiatan belajar sikap, dan tipe kegiatan belajar pemecahan masalah (H.D Sudjana, 2000:117-120).

BAB II
II. TEORI ASOSIASI

Menurut teori Asosiasi, kegiatan pembelajaran akan efektif apabila interaksi antara pendidik dengan peserta didik dilakukan melalui stimulus dan respons (S-R). Kegiatan pembelajaran adalah proses menghubungkan stimulus (S) dengan respons (R). Berdasarkan teori ini, pembelajaran makin efektif apabila peserta didik makin giat belajar dan makin tinggi kemampuannya dalam meng- hubungkan simulus dan respons. Prinsip-prinsip yang digunakan dalam teori ini adalah: kesiapan (readiness) berkaitan dengan motivasi peserta didik, latihan (exercise) yaitu kegiatan berulang peserta didik dalam menghubungkan stimulus-respons, dan pengaruh (effect) yang berhubungan dengan hasil kegiatan dan manfaat yang dirasakan langsung oleh peserta didik dalam dunia kehidupannya. Prinsip ‘pengaruh’ berkaitan pula dengan penciptaan suasana, penghargaan, celaan, hukuman, dan ganjaran.
Jika kita telaah lebih lanjut, di samping hal-hal positif dari teori Asosiasi, kita menemukan adanya hal-hal yang negatif dari teori ini. Di antaranya, teori ini mengenyampingkan peranan minat, kreativitas, dan apirasi peserta didik. Selain itu teori ini juga lebih menekankan peluang belajar individual, dominasi kemampuan pendidik atau sumber belajar lainnya dalam menciptakan stimulus (Sudjana, 2000:178).
Karena tidak semua perilaku belajar dapat dijelaskan dengan pelaziman, teori Asosiasi biasnya menambahkan konsep belajar sosial (social learning) dari Bandura. Menurut Bandura, belajar terjadi karena peniruan (imitation). Kemampuan meniru respons adalah penyebab utama belajar.
Teori belajar sosial memiliki beberapa konsep dasar. Konsep konsep tersebut adalah:
1) Pemodelan (modelling), seseorang belajar dengan cara meniru perilaku orang lain dan pengalaman vicarious yaitu belajar dari keberhasilan dan kegagalan orang lain;
2) Fase Belajar, terdiri dari fase perhatian terhadap model (attentional phase), fase mengendapkan hasil memperhatikan model dalam pikiran pebelajar (retention phase), fase menampilkan ulang perilaku model oleh pebelajar (reproduction phase) dan fase motivasi (motivation phase) ketika peserta didik berkeinginan mengulang-ulang perilaku model yang mendatangkan konsekuensi-konsekuensi positif dari lingkungan;
3) Belajar Vicarious, seseorang belajar dengan melihat apakah orang lain diberi ganjaran atau hukuman waktu terlibat dalam perilaku-perilaku tertentu;
4) Pengaturan-sendiri (self-regulation), manusia mengamati, mempertimbangkan, memberi ganjaran atau hukuman terhadap perilakunya sendiri.

BAB III
PEMBAHASAN
Pengertian Asosiasi:
Menghubungkan antara satu peristiwa dengan peristiwa lain, antara seseorang dengan orang lain yang dipandang sebagai rangkaian yang saling berhubungan dan keterkaitan satu sama lain.
Banyak teori dalam metodologi pembelajaran dilatarbelakangi oleh konsepsi-konsepsi psikologi tentang manusia. Sekurang-kurangnya ada empat pendekatan psikologi yang sangat dominan dalam melahirkan teori-teori tentang manusia: psikoanalisa, behaviorisme, psikologi kognitif, dan psikologi humanistis. Tindakan-tindakan persuasif dalam kegiatan pendidikan luar sekolah yang berorientasi untuk membentuk citra tertentu dalam masyarakat sangat dipengaruhi oleh Psikoanalisa yang melukiskan manusia sebagai makhluk yang digerakkan oleh keinginan-keinginan terpendam (Homo Volens). Behaviorisme memandang manusia sebagai makhluk yang dikendalikan dan digerakkan sepenuhnya oleh lingkungan (Homo Mechanicus), dari psikologi ini muncul definisi belajar sebagai perubahan perilaku. Pengertian belajar sebagai proses pengolahan informasi seperti pada teori Gestalt dan teori Medan didasarkan pada psikologi koginitif yang melihat manusia sebagai makhluk yang aktif mengorganisasikan dan mengolah stimuli yang diterimanya (Homo Sapiens). Adapun teknik pembelajaran transaksional dan pembelajaran terpadu, dan pendekatan STS (Science – Technology and Society) banyak dilandasi oleh konsepsi psikologi humanisme yang menggambarkan manusia sebagai pelaku aktif dalam merumuskan strategi transaksional dengan lingkungan (Homo Ludens). Konsepsi-konsepsi dasar yang terdapat dalam keempat psikologi tersebut semestinya dipahami dengan sungguh-sungguh oleh para pendidik sehingga ia mampu dengan tepat mengimplementasi-kannya sesuai dengan karakteristik peserta didik, program, dan model pembelajaran yang dipilihnya.
1. Pandangan Penulis terhadap Teori Asosiasi dalam Pembelajaran Partisipatif
Teori Asosiasi, sebagaimana nampak dari tokoh-tokoh pencetusnya (Thorndike, James Watson dan Wiliams James) adalah teori belajar yang didasarkan pada psikologi Behavioristik. Penggunaan teori ini dalam pendidikan akan memperlakukan manusia sesuai dengan pandangan kaum Behaviorisme tentang manusia.
Para penganut Behaviorisme hanya menganalisa perilaku belajar yang nampak saja, yang dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan. Menurut mereka seluruh perilku manusia -kecuali instink- adalah hasil belajar. Belajar artinya perubahan perilaku organisme sebagai pengaruh lingkungan. Behaviorisme tidak mempersoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional; behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan (stimulus). Dari sinilah timbul konsep “manusia mesin” (Homo Mechanicus). Dalam pandangan behaviorisme – sebagaimana pandangan pendahulunya: Aristoteles dan John Locke – manusia adalah binatang tingkat tinggi dengan “jiwa” berupa tabularasa. Menurut mereka manusia lahir dengan tidak memiliki sifat-sifat sosial dan atau psikologis (J Rakhmat, 1998:24). Oleh karenanya teori belajar bagi manusia dapat dikembangkan dari cara belajar berbagai jenis organisme (binatang) lainnya, karena kaum behaviorisme adalah juga penganut faham Darwinisme yang meyakini bahwa manusia merupakan hasil evolusi dari organisme yang lebih rendah.
Dalam teori Asosiasi biasanya digunakan sejumlah konsep belajar yang dikembangkan oleh kaum behavioris untuk mengefektifkan pengaruh lingkungan terhadap hasil belajar. Metode yang paling primitif adalah metode pelaziman klasik (classical conditioning). Diambil dari Sechenov (1829-1905) dan Pavlov (1849-1936), pelaziman klasik adalah memasangkan stimuli yang netral atau stimuli terkondisi (conditioned stimulus) dengan stimuli tertentu yang tak terkondisikan (unconditioned stimulus) yang melahirkan perilaku tertentu. Setelah pemasangan ini terjadi berulang-ulang, stimuli yang netral menghasilkan perilaku tertentu yang terkondisikan. Sejalan dengan Pavlov adalah Hukum Pengaruh (Law of Effect) dari E.L. Thorndike. Hukum pengaruh mengemukakan bahwa jika suatu tindakan diikuti oleh suatu perubahan yang memuaskan dalam lingkungan, kemungkinan bahwa tindakan itu diulangi dalam situasi yang mirip, akan meningkat. Sebaliknya jika suatu tindakan diikuti oleh suatu perubahan yang tidak memuaskan dalam lingkungan, kemungkinan bahwa tindakan itu diulangi dalam situasi yang mirip, akan menurun. Jadi, konsekuensi-konsekuensi dari perilaku seseorang pada suatu saat, memegang peranan penting dalam menentukan perilaku orang itu selanjutnya.
Skiner menambahkan jenis pelaziman yang lain. Ia menyebutnya operant conditioning. Pelaziman jenis ini berkaitan dengan proses memperteguh respon yang baru dengan mengasosiasikannya pada stimuli tertentu berkali-kali. Oleh karenya pelaziman operant sering menggunakan peneguhan (reinforcement) untuk memperkuat hasil belajar yang diharapkan. Pada operant conditioning inilah dikenal prinsip ganjaran (reward) dan hukuman (punishment).
Teori belajar Bandura dapat dijadikan landasan tentang pentingnya penggunaan metode demonstrasi oleh guru atau kerja kelompok peserta didik dalam pembelajaran partisipatif. Teori ini juga sangat efektif untuk dijadikan landasan dalam menanamkan sikap ilmiah dan motivasi pada peserta didik berkenaan dengan nilai-nilai instrinsik dari pembelajaran partisipatif, terutama dengan penerapan teori Modelling. Melalui ini peserta didik akan melakukan peniruan terhadap apa yang diamatinya nampak pada kinerja guru dan teman sebaya di kelas.
Dengan mencermati karakteristik psikologi belajar Behavioristik yang melandasi teori belajar Asosiasi serta dihubungkan dengan prinsip-prinsip pembelajaran partisipatif, penulis tidak begitu setuju jika teori Asosiasi dijadikan salah satu landasan utama pembelajaran partisipatif. Kalau pun teori ini digunakan, hanya sebatas unsur penunjang pada fase-fase pembelajaran tertentu. Hal ini didasarkan pada sejumlah alasan sebagai berikut.
Alasan pertama adalah, teori Asosiasi dikembangkan dari psikologi Behavioristik, suatu pandangan psikologi yang kurang komprehensif memandang dan mendeskripsikan karakteristik perilaku belajar manusia, dan hanya menekankan aktivitas penginderaan terhadap leingkungan dan unsur pengalaman sebagai mekanisme memperoleh hasil belajar yang benar. Penulis setuju dengan kritik kaum rasionalis terhadap kaum Behavioris yang mempertanyakan apakah betul bahwa penginderaan manusia, melalui pengalaman langsung, sanggup memberikan kebenaran. Dalam banyak hal alat indera sering tidak akurat dalam memberikan informasi. Bukankah mata Anda mengatakan bahwa kedua rel kereta api yang sejajar itu bertemu di ujung sana? Bukankah mata Anda memberikan stimuli bahwa pada batas permukaan air-udara sebatang tongkat yang tercelup sebagian jika diamati secara horizontal nampak patah? Sudah barangtentu Anda tidak menerima stimulus tersebut sebagai pengalaman belajar yang benar! Jika manusia tunduk sepenuhnya pada perlakuan lingkungan maka manusia akan memperoleh banyak hasil belajar yang superfisial (dangkal) dalam hal kebenaran.
Alasan kedua, teori Asosiasi sebagaimana psikologi Behavioristik tidak mempersoalkan motivasi terutama perilaku yang ‘self-motivated’. Hal ini bertentangan dengan prinsip pembelajaran partisipatif terutama yang berhubungan dengan prinsip Berdasarkan Kebutuhan Belajar (Learning Needs Based), Berorientasi pada Tujuan Kegiatan Pembelajaran (Learning Goals and Objectives Oriented), prinsip Berpusat pada Peserta didik (Participant Centered) yang berkaitan dengan latar belakang kehidupan peserta didik
Penerapan Teori Asosiasi Terhadap Pembelajaran Siswa
1. Guru menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap sehingga tujuan pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru
2. Guru tidak banyak memberikan ceramah, tetapi instruksi singkat yang diikuti contoh-contoh baik dilakukan sendiri maupun simulasi
3. Bahan pelajaran disusun secara hierarki dari yang sederhana sampai pada yang kompleks
4. Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati
5. Kesalahan harus segera diperbaiki
6. Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan
7. Evaulasi atau penilaian didasari atas perilaku yang tampak.



BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Dari paparan terdahulu terutama yang berkaitan dengan pembelajaran asosiasi dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut.
1. Pembelajaran asosiasi yang biasa digunakan dalam pendidikan luar sekolah termasuk ke dalam jenis pembelajaran yang lebih bersifat organis dan sangat cocok untuk pembelajaran yang berorientasi kepada pengembangan kemampuan peserta didik dalam memecahkan masalah.
2. Sebagaimana pada model pembelajaran lainnya, penggunaan model pembelajaran asosiasi tidak bisa lepas dari implementasi psikologi belajar dan teori pembelajaran. Ada dua teori pembelajaran yang kerapkali digunakan pada pembelajaran teori Asosiasi dan teori Medan.
3. Dengan mencermati karakteristik pembelajaran asosiasi, dapat juga digunakan pada ruang lingkup yang sangat terbatas dan seperlunya.

B. Saran
Dalam akhir makalah ini penulis mengajukan saran-saran sebagai berikut.
1. Para pendidik atau instrukur pendidikan luar sekolah yang hendak menggunakan pembelajaran partisipatif hendaknya memperluas dan memperdalam wawasannya tentang berbagai kajian psikologi dan teori belajar mutakhir, sehingga dapat dengan kritis dan tepat memilih teori, metode, dan teknik yang akan digunakan.
2. Untuk lebih meningkatkan kualitas pembelajaran partisipatif terutama dengan pendekatan ‘pendidikan adragogi’, di samping penggunaan teori Asosiasi dan teori Medan, sebaiknya digunakan juga teori atau pendekatan belajar konstruktivisme. Selain menggunakan psikologi behavioristik dan kognitif semestinya juga memasukkan unsure-unsur psikologi humanistik. Psikologi ini lebih mengangkat posisi manusia dalam proses pembelajaran terutama dalam hal motivasi, kreativitas, dan nilai.
3. Penulis mengajak pembaca untuk merenungkan tulisan Niemi (1997:244) ” . . . dalam pengembangan profesionalisme, guru bukanlah seorang teoritis melainkan harus berkemauan untuk aktif bertindak. Tetapi tanpa petunjuk teori kognitif yang dikembangkan secara sistemik, maka rancangan mengajar, pembelajaran, dan kegiatan asesmen menjadi tidak sistimatik dan tidak efektif dalam meningkatkan prestasi peserta didik.”



DAFTAR PUSTAKA
1. Dahar, R.W.(1988). “Konstruktivisme dalam Mengajar dan Belajar”. Teks Pidato pada Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada FPMIPA, IKIP Bandung: tidak diterbitkan.
2. _____.(1991). Teori Teori Belajar. Jakarta: Penerbit Erlangga.
3. Dahar, R. W. dkk.(1992). Dampak Pertanyaan dan Teknik Bertanya Guru Selama Proses Belajar Mengajar Ilmu Pengetahuan Alam Pada Berpikir Siswa. Laporan Penelitian, FPMIPA, IKIP Bandung: tidak diterbitkan.
4. Hewson, M. G. A’B. (1985). “The Role of Intellectual Environment in The Origin of Conceptions: an Exploratory Study”, dalam West, L.H.T. & Pines, A. L. (1985). Cognitive Structure and Conceptual Change. Orlando, Florida : Academic Press, Inc.
5. Jalaluddin Rakhmat. (1998). Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Karya
6. Sudjana s. (2000). Strategi Pembelajaran. Bandung: Penerbit Falah Production.
7. _______. (2001). Metode dan Teknik Pembelajaran Partisipatif. Bandung: Penerbit Falah Production.
Jangan Lupa berikan komentar Anda tentang blog ini, ataupun tentang posting ini.

Selengkapnya KlikTeori Belajar Asosiasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

burung

- See more at: http://www.komputerseo.com/2010/12/cara-membuat-teks-bergerak-melingkar.html#sthash.E7vd1rC1.dpuf